Oleh: Herman Kajang*
Pemilihan langsung bukan hanya soal memilih pemimpin, tetapi juga soal membangun kesadaran politik dan memperkuat ikatan sosial antarwarga negara.
Wacana mengenai perubahan sistem Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang semula dipilih langsung oleh rakyat menjadi dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kembali mencuat. Usulan ini disampaikan oleh Presiden Prabowo Subianto, yang menyarankan untuk mengubah cara pemilihan kepala daerah agar lebih efisien dari segi anggaran negara.
Menurutnya, anggaran Pilkada yang selama ini digunakan, bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat ketimbang menghabiskan trilyunan rupiah dalam satu dua hari. Wacana ini tentu memicu beragam reaksi dari berbagai kalangan.
Beberapa pihak melihatnya sebagai solusi yang bisa mengurangi biaya dan potensi konflik dalam Pilkada, sementara yang lain khawatir bahwa hal ini justru akan mengurangi esensi demokrasi, di mana rakyat sebagai pemegang kedaulatan kehilangan haknya untuk memilih langsung pemimpin yang mereka inginkan.
Tidak hanya soal efisiensi anggaran, masalah mendalam yang perlu dicermati adalah mentalitas dalam berpolitik, terutama terkait dengan peran partai politik yang sering kali menjadi penghalang bagi terciptanya pemimpin yang benar-benar berorientasi pada kepentingan publik.
Dalam artikel ini, kita akan mengulas lebih dalam tentang wacana perubahan sistem Pilkada tersebut, melihat konteks keindonesiaan, dan menganalisis dampaknya terhadap kualitas demokrasi kita. Apakah perubahan ini benar-benar dapat memperbaiki sistem politik di Indonesia, atau justru membawa dampak negatif terhadap esensi demokrasi yang telah diperjuangkan selama ini?
Esensi Demokrasi
Indonesia sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia memiliki sejarah panjang dalam memperjuangkan demokrasi. Sejak Reformasi 1998, Indonesia terus berusaha untuk memperkuat sistem politik yang lebih inklusif dan partisipatif. Pemilihan umum langsung, baik untuk presiden maupun kepala daerah, adalah simbol dari kebebasan dan kedaulatan rakyat dalam menentukan pemimpin mereka.
Masyarakat Indonesia memiliki keberagaman yang sangat tinggi, mulai dari suku, agama, ras, hingga budaya. Dalam konteks ini, demokrasi yang mengakomodasi keberagaman dan memberikan ruang bagi partisipasi rakyat dalam setiap tingkat keputusan menjadi penting. Pemilihan langsung bukan hanya soal memilih pemimpin, tetapi juga soal membangun kesadaran politik dan memperkuat ikatan sosial antarwarga negara.
Akan tetapi, jika Pilkada kembali diambil alih oleh DPRD, esensi demokrasi itu bisa terkikis. Di Indonesia, di mana kecenderungan politik identitas dan pragmatisme partai sering kali mendominasi, memberi hak kepada partai politik untuk memilih kepala daerah berarti memperbesar potensi pembentukan pemerintahan yang lebih elit dan terisolasi dari keinginan rakyat.
Sistem ini tidak hanya mengurangi partisipasi, tetapi juga membuka peluang bagi praktik-praktik politik yang kurang transparan. Pemilu langsung, yang dimulai sejak 2004 untuk memilih kepala daerah, seharusnya dilihat sebagai sebuah pencapaian dalam memperkuat kedaulatan rakyat.
Dalam sistem ini, rakyat diberi hak untuk memilih pemimpin mereka secara langsung, memberikan mereka kontrol atas nasib daerahnya. Mengembalikan pemilihan Pilkada kepada DPRD hanya akan mengurangi suara rakyat dan membuka peluang bagi penyalahgunaan kekuasaan, dengan lebih banyak kepentingan elit partai politik yang bermain di balik layar.
Alasan Klasik
Salah satu alasan utama yang sering diajukan oleh pendukung pemilihan kepala daerah oleh DPRD adalah efisiensi anggaran. Pemilu langsung yang melibatkan proses panjang, mulai dari kampanye hingga pemungutan suara, memerlukan biaya yang tidak sedikit. Dalam konteks ini, perubahan sistem Pilkada dianggap dapat mengurangi beban pengeluaran negara.
Jika kita menilai lebih dalam, alasan ini saja tidak cukup untuk menggantikan esensi demokrasi yang telah lama diterima di Indonesia, yaitu partisipasi langsung rakyat dalam menentukan pemimpin. Argumen efisiensi ini berfokus pada penghematan biaya yang dikeluarkan dalam proses Pilkada langsung yang, menurutnya, sangat besar.
Biaya yang tinggi dalam Pilkada langsung, termasuk dana kampanye, logistik Pemilu, serta pengawasan, memang menjadi perhatian serius, terlebih dalam kondisi keuangan negara yang terbatas. Meskipun efisiensi anggaran bisa menjadi faktor yang perlu dipertimbangkan, mengubah sistem Pilkada hanya demi alasan penghematan biaya mungkin bukan solusi yang tepat.
Jika dilihat lebih dalam, masalah yang terjadi dalam penyelenggaraan Pilkada lebih kompleks daripada sekadar biaya yang dikeluarkan. Mengganti sistem menjadi pemilihan oleh DPRD tidak serta-merta menyelesaikan masalah yang ada, bahkan bisa menimbulkan dampak yang kurang baik dalam proses demokrasi, seperti mengurangi partisipasi masyarakat dalam menentukan pemimpin mereka.
Hak rakyat untuk memilih pemimpinnya secara langsung adalah salah satu prinsip demokrasi yang penting. Penyelenggaraan Pilkada langsung memang menuntut anggaran yang tidak sedikit, tetapi ada cara untuk mengurangi pemborosan tanpa harus mengorbankan hak rakyat untuk memilih langsung.
Misalnya, dengan mengatur lebih ketat pengeluaran dana kampanye, menggunakan teknologi untuk transparansi proses pemilihan, dan memperkuat pengawasan terhadap penggunaan anggaran dalam Pilkada. Dengan cara ini, efisiensi anggaran tetap bisa tercapai tanpa harus mengubah sistem pemilihan yang sudah memberikan suara penuh kepada rakyat.
Selain itu, biaya Pilkada langsung yang tinggi juga bisa diatasi dengan meningkatkan perencanaan dan manajemen penyelenggaraan Pemilu, serta melibatkan berbagai pihak untuk menjaga transparansi dan mengurangi potensi pemborosan. Misalnya, menggunakan sistem Pemilu berbasis digital untuk mengurangi biaya logistik dan meningkatkan efisiensi.
Pada akhirnya, jika alasan utama perubahan sistem Pilkada adalah efisiensi anggaran, fokus seharusnya lebih pada perbaikan pelaksanaan Pilkada itu sendiri, bukan mengubah sistem yang sudah memberikan hak lebih besar kepada rakyat dalam menentukan pemimpin mereka.
Mengubah sistem Pilkada hanya demi efisiensi anggaran bisa mengurangi kepercayaan publik terhadap proses demokrasi dan menghilangkan hak masyarakat untuk terlibat secara langsung dalam menentukan masa depan mereka. Oleh karena itu, daripada mengubah sistem, yang lebih penting adalah memperbaiki pelaksanaan Pilkada agar lebih efisien dan lebih baik dalam melayani kepentingan rakyat.
Perbaikan Demokrasi
Masalah besar yang kita hadapi dalam perbaikan demokrasi di Indonesia bukanlah soal anggaran Pilkada yang triliunan rupiah, melainkan mentalitas dalam berdemokrasi, yang tercermin dalam perilaku elite politik dan partai politik itu sendiri. Anggaran Pilkada yang sangat besar memang menjadi sorotan publik, karena biaya yang dikeluarkan untuk menggelar pemilihan kepala daerah langsung memang tidak sedikit.
Akan tetapi, jika kita hanya fokus pada angka besar yang terbuang dalam proses Pilkada tanpa melihat akar permasalahannya, kita akan kehilangan pandangan terhadap masalah yang jauh lebih mendalam—yaitu kerusakan sistem politik yang disebabkan oleh mentalitas partai politik yang jauh dari semangat demokrasi yang sesungguhnya.
Sistem pemilihan langsung yang telah berjalan sejak Reformasi 1998 sejatinya adalah langkah maju dalam membangun kedaulatan rakyat. Rakyat diberi hak untuk memilih langsung pemimpin mereka, dengan harapan bahwa mereka dapat memilih pemimpin yang benar-benar mewakili kepentingan mereka.
Kenyataannya, apa yang terjadi di lapangan sering kali jauh dari ideal. Banyak partai politik yang justru tidak mampu menjalankan fungsinya dengan baik, yaitu menciptakan calon pemimpin yang berkualitas dan mampu membawa kemajuan bagi daerah serta mensejahterakan rakyat. Sebaliknya, banyak kandidat yang muncul justru lebih dipilih karena kedekatannya dengan elit partai atau kekuatan finansial yang dimilikinya, bukan karena kemampuan atau integritas mereka dalam memimpin.
Di banyak daerah, kita melihat bagaimana partai politik lebih mengutamakan strategi jangka pendek untuk memenangkan pemilu, tanpa memperhatikan karakteristik dan kebutuhan masyarakat setempat. Banyak calon kepala daerah yang dipilih karena kepentingan pragmatis dari elit partai, bukan karena kualitas kepemimpinan yang dibutuhkan oleh masyarakat daerah tersebut.
Hal ini mengarah pada sistem yang tidak berfungsi dengan baik, di mana partai politik yang seharusnya menjadi institusi yang mendidik kader dan menciptakan pemimpin yang baik, justru lebih sibuk dengan pertarungan internal dan pembagian kekuasaan daripada memikirkan kemajuan daerah dan kesejahteraan rakyat.
Alasan presiden bahwa anggaran Pilkada yang trilyunan itu bisa dialihkan untuk kesejahteraan rakyat, sangatlah mulya. Namun, juga sangat memrihatinkan jika itu kembali dikorup oleh pejabat. Mengalihkan anggaran Pilkada yang besar sebagai pemborosan, dengan alasan bahwa uang itu seharusnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat, adalah pendekatan yang terlalu simplistis.
Memang benar bahwa anggaran Pilkada sangat besar, namun jika kita tidak mengatasi masalah pokok yang ada, yaitu korupsi dan penyalahgunaan wewenang oleh pejabat publik, maka anggaran yang dialokasikan untuk kesejahteraan rakyat pun akan sia-sia.
Banyak pejabat daerah yang menggunakan kekuasaan mereka untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya, bukan untuk kemajuan masyarakat. Korupsi yang merajalela di berbagai level pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun daerah, telah merusak niat baik dalam setiap kebijakan yang seharusnya bermanfaat bagi rakyat.
Pemecahan masalah bukan terletak pada mengganti sistem Pilkada yang sudah ada, dengan mengembalikannya kepada DPRD, melainkan pada perbaikan mendalam terhadap mentalitas partai politik dan para pejabat yang terlibat. Jika mentalitas politik masih didominasi oleh kepentingan pribadi dan partai yang sempit, maka anggaran negara yang besar tetap akan disalahgunakan.
Menghapuskan korupsi adalah langkah pertama yang harus diambil, karena tanpa keberanian untuk memberantas praktek korupsi yang mengakar di dalam tubuh pemerintahan, anggaran yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat akan kembali jatuh ke tangan yang salah.
Korupsi tidak hanya merugikan negara, tetapi juga menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem politik dan pemerintahan. Salah satu dampak buruk dari praktek korupsi adalah ketidakmampuan pemerintah untuk mengalokasikan anggaran secara efektif dan efisien untuk pembangunan yang sesungguhnya.
Dengan adanya korupsi, dana yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan sektor-sektor penting lainnya justru diselewengkan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Oleh karena itu, mengganti sistem Pilkada bukanlah solusi untuk masalah mendasar ini. Pemulihan sistem demokrasi harus dimulai dengan pembenahan integritas dalam tubuh pemerintahan dan partai politik.
Sistem politik yang baik membutuhkan partai politik yang berfungsi dengan semestinya, yakni yang tidak hanya berorientasi pada kemenangan elektoral semata, tetapi juga pada pembentukan kepemimpinan yang berorientasi pada kepentingan publik. Partai politik harus memiliki mekanisme yang kuat dalam merekrut dan menyiapkan calon pemimpin yang tidak hanya kompeten tetapi juga berintegritas tinggi.
Pemilu langsung adalah sarana yang memberi peluang bagi rakyat untuk memilih pemimpin yang mereka anggap paling layak, dan hal ini harus tetap dipertahankan sebagai bagian dari penguatan demokrasi. Masyarakat berhak memilih pemimpin mereka, dan hak ini harus dijaga dengan sebaik-baiknya, tanpa harus terganggu oleh manipulasi elit yang berusaha meraih kekuasaan demi kepentingan pribadi.
Jika kita terus menggulirkan wacana mengembalikan Pilkada kepada DPRD dengan alasan efisiensi anggaran, kita justru akan mundur dalam perjalanan demokrasi kita. Anggaran Pilkada yang besar memang patut diawasi, namun penghematan anggaran tanpa pembenahan struktural dalam partai politik dan pengentasan korupsi tidak akan membawa perubahan berarti.
Sebaliknya, jika kita mampu menciptakan sistem yang transparan, bebas dari korupsi, dan partai politik yang berfungsi sebagaimana mestinya, maka anggaran yang dikeluarkan untuk Pilkada atau pemilu langsung akan lebih terasa manfaatnya untuk kemajuan bangsa.
Dengan kata lain, reformasi politik yang sesungguhnya bukan hanya soal mengganti sistem atau mengecilkan anggaran, tetapi lebih pada perubahan mendalam dalam sikap politik dan pemerintahan yang harus berorientasi pada pelayanan publik yang adil, transparan, dan bermanfaat bagi rakyat. Jika mentalitas koruptif ini tidak diubah, maka apapun sistemnya, anggaran negara akan terus disalahgunakan untuk kepentingan segelintir orang.
Jadi, solusi sejati dalam memperbaiki demokrasi kita bukanlah dengan merubah sistem Pilkada, melainkan dengan merombak mentalitas elit politik yang telah lama merusak integritas demokrasi Indonesia.
Sebagai penutup, kita harus menyadari bahwa demokrasi yang sehat dan berkelanjutan tidak dapat terwujud hanya dengan mengubah sistem atau mengecilkan anggaran semata. Reformasi yang sejati harus dimulai dari pembenahan mentalitas politik kita. Partai politik, sebagai pilar utama demokrasi, harus mampu berfungsi sebagaimana mestinya, yakni menciptakan calon pemimpin yang berintegritas dan mampu melayani kepentingan rakyat, bukan hanya untuk kepentingan kelompok atau pribadi.
Jika sistem Pilkada yang langsung dipilih rakyat dianggap tidak efisien atau mahal, mari kita tidak terjebak pada solusi sesaat yang berfokus pada penghematan anggaran, tetapi justru fokus pada pemberantasan korupsi dan perbaikan fungsi partai politik. Hanya dengan memperbaiki mentalitas para elite politik dan memastikan bahwa mereka bekerja untuk kepentingan publik, kita dapat mewujudkan pemerintahan yang bersih, transparan, dan efektif, di mana anggaran negara digunakan untuk memajukan kesejahteraan rakyat, bukan untuk kepentingan segelintir orang.
Inilah tantangan besar yang harus kita hadapi, karena tanpa perubahan mendalam pada sikap dan perilaku politik, sistem apapun yang diterapkan tidak akan mampu membawa Indonesia ke arah yang lebih baik. (*)
*Penulis adalah aktivis KOPEL Indonesia