English English Indonesian Indonesian
oleh

Antara Rasio, Keimanan, dan Kritik Terhadap Modernitas

Oleh: Melisa Pagasing
Mahasiswa UNM

Rasio, atau akal, menjadi pendorong utama kemajuan di era modern. Zaman Pencerahan (Pencerahan) di abad ke-17 dan 18 menandai pergeseran paradigma besar dalam cara manusia memahami dunia. Filsuf seperti René Descartes, Immanuel Kant, dan Francis Bacon menekankan pentingnya rasio sebagai alat untuk mencapai pengetahuan objektif. Rasionalitas membawa manusia pada revolusi ilmiah yang mengubah cara hidup, mulai dari perkembangan teknologi hingga pemerintahan berbasis hukum. Namun, rasio dalam modernitas cenderung menggeser dimensi transenden manusia. Pengetahuan yang dianggap valid hanyalah yang dapat dibuktikan secara empiris atau logistik, Rasio tetap memiliki peran penting dalam membantu manusia memahami dunia secara objektif.

Namun, rasio perlu disadari memiliki keterbatasan. Dalam hal-hal yang melampaui logika manusia, seperti pertanyaan tentang makna hidup, asal usul alam semesta, dan tujuannya. Rasio dalam konteks sejarah pemikiran modern merujuk pada konsep rasio atau akal budi dalam perkembangan pemikiran filosofis modern. Seiring dengan munculnya Renaisans dan Pencerahan (Enlightenment) di Eropa, rasio atau akal menjadi alat utama untuk memperoleh pengetahuan dan memahami dunia secara rasional, berlawanan dengan pendekatan tradisional yang lebih bersifat otoritatif atau berbasis wahyu agama.khir manusia, keimanan dapat memberikan jawaban yang tidak mampu dijangkau oleh rasio. Pemikiran rasional ini membawa perubahan besar dalam bidang ilmu pengetahuan, politik, dan budaya, membuka jalan bagi perkembangan metode ilmiah modern serta memperkenalkan gagasan-gagasan tentang kebebasan individu dan hak-hak manusia.

Keimanan, yang pada masa pra-modern mendominasi cara manusia memahami dunia, mengalami berbagai tantangan signifikan dalam sejarah pemikiran modern. Era modern, yang dimulai pada abad ke-16 dan semakin berkembang dengan Zaman Pencerahan di abad ke-17 dan 18, menandai pergeseran paradigma besar dari otoritas agama menuju rasionalitas, sains, dan individualisme. Meskipun modernitas sering kali disalahartikan sebagai periode di mana keimanan digeser ke pinggiran wawasan intelektual, hubungan antara keimanan dan pemikiran modern sebenarnya jauh lebih kompleks. Keimanan tidak sepenuhnya hilang, melainkan menemukan bentuk baru dan mengalami berbagai dinamika dalam menghadapi tantangan rasionalitas, dan perkembangan ilmu pengetahuan.

Pada abad ke-18, gerakan Pencerahan menantang otoritas agama yang dominan, terutama Gereja Katolik, yang selama berabad-abad memegang kekuasaan atas kehidupan intelektual dan politik Eropa. Filsuf seperti Voltaire, Jean-Jacques Rousseau, dan David Hume mengkritik dogma agama dan mengusulkan bahwa rasio, bukan wahyu atau iman, harus menjadi dasar utama pengetahuan manusia. Pemikiran ini menyarankan agar keyakinan agama tidak dicampurkan dengan ilmu pengetahuan dan kehidupan sosial.

Namun, meskipun pemikir Pencerahan sering kali mengkritik agama, mereka tidak sepenuhnya menolak keimanan. Immanuel Kant, misalnya, meskipun menekankan pentingnya rasio dan pembatasan pengetahuan manusia, mengakui bahwa agama bisa memainkan peran moral dalam kehidupan manusia, meskipun dia melihat agama lebih sebagai panduan moral daripada kebenaran metafisik yang absolut. Dalam konteks teologi Kristen, terutama pada abad ke-19 dan ke-20, muncul gerakan modernisme teologis yang berusaha menyelaraskan ajaran agama dengan temuan ilmiah dan filosofi modern.

Pada abad ke-20, dengan munculnya pemikiran postmodern, beberapa pemikir mengajukan pandangan yang lebih pluralis tentang agama dan keimanan. Filsuf seperti Michel Foucault dan Jacques Derrida mengkritik struktur kekuasaan yang berhubungan dengan agama, namun juga membuka ruang untuk pluralitas pemikiran keagamaan yang lebih beragam dan lebih inklusif. Selain itu, dalam tradisi teologi filsuf, beberapa pemikir seperti Paul Tillich dan Karl Barth berusaha menggabungkan keyakinan agama dengan elemen-elemen modernitas. Tillich, misalnya, melihat Tuhan sebagai “realitas transendental” yang melampaui batasan rasional, sementara Barth lebih menekankan pada ketergantungan manusia terhadap wahyu Ilahi daripada rasio manusia semata. Keimanan dalam sejarah pemikiran modern menghadapi tantangan besar dari rasio dan sains, namun tetap bertahan sebagai salah satu komponen penting dalam kehidupan manusia, baik dalam konteks teologi maupun dalam cara-cara pribadi dan eksistensial. Pemikiran modern, dengan penekanan pada kebebasan berpikir dan pencarian pengetahuan, telah memberikan ruang untuk dialog antara rasio dan iman, meskipun keduanya seringkali berhadapan dalam ketegangan yang kompleks.

Modernitas merupakan era yang ditandai dengan kepercayaan besar pada kemampuan rasio manusia untuk memahami dunia dan memecahkan berbagai persoalan kehidupan. Dalam sejarah pemikiran, modernitas sering dikaitkan dengan pencerahan (Enlightenment), yang mempromosikan ilmu pengetahuan, kebebasan berpikir, dan kemajuan teknologi sebagai jalan menuju kesejahteraan manusia.

Namun, di balik optimisme ini, modernitas juga mengandung ketegangan antara rasio dan keimanan, serta membawa kritik terhadap dampaknya pada kehidupan manusia. Dalam ketegangan ini, muncul kritik terhadap modernitas yang berdampak pada dominasi rasionalitas terhadap nilai-nilai spiritual, budaya, dan lingkungan. Kritik terhadap modernitas juga harus dilihat sebagai pengingat agar manusia tidak terjebak dalam keangkuhan rasionalitas. Modernitas perlu dibarengi dengan refleksi kritis terhadap dampaknya, baik terhadap individu maupun terhadap lingkungan.

Dalam konteks ini, nilai-nilai keimanan dan spiritualitas dapat menjadi penyeimbang yang penting, membantu manusia untuk tetap memiliki hubungan dengan modernitas. Meskipun kritik terhadap modernitas semakin berkembang, banyak aspek dari modernitas, seperti kemajuan teknologi, globalisasi, dan demokratisasi, tetap mempengaruhi dunia kontemporer. Era digital, globalisasi ekonomi, serta kemajuan dalam bidang bioteknologi dan kecerdasan buatan seperti pada aplikasi (AI) semakin mempertegas bahwa dunia modern tidak hanya berkembang dalam arah rasional dan ilmiah, tetapi juga menciptakan tantangan etis dan filosofis baru yang menguji batas-batas modernitas itu sendiri. Modernitas dalam sejarah pemikiran modern menggambarkan pergeseran dari cara pandang tradisional yang lebih dogmatis dan religius menuju penekanan pada rasio, ilmu pengetahuan, kebebasan individu, dan transformasi sosial. Pemikiran modern dimulai dengan Renaisans, berkembang pesat melalui Pencerahan, dan terus berlanjut dengan revolusi sosial dan teknologi yang mengubah cara hidup manusia. Postmodernisme banyak aspek dari pemikiran modern tetap relevan hingga hari ini, membentuk dunia yang kita kenal sekarang dengan kemajuan teknologi yang sangat cepat.

Rasio

Sebagai seorang tokoh rasionalisme dan dikenal sebagai bapak filsafat modern, tentunya Rene Descartes memiliki fondasi ajaran yang tidak dapat tergoyahkan, yakni tentang ajaran yang menegaskan pada kebenaran tertinggi terdapat pada akal atau rasio manusia. Menurut Descartes, rasio merupakan kebenaran tertinggi dan sumber pengetahuan. Hanya rasio atau akal yang dapat membawa manusia pada kebenaran. Kebenaran hanyalah tindakan dari akal yang terang benderang, yang ia sebut dengan Ideas Claires el Distinctes (pikiran yang terang benderang dan terpilah-pilah)(Hakim,2008). Oleh sebab itu, Descartes menekankan untuk tidak mempercayai sesuatu yang diluar dari akal manusia. Dikarenakan kesaksian apapun yang bersumber dari luar rasio manusia tidak pasti dan tidak dapat dipercayai.

Kebenaran tersebut harus dicari dan didasarkan dengan menggunakan kriteria “clearly and distinctly” (pikiran yang terang). Menurut Descartes, pengetahuan-pengetahuan yang harus diragukan ialah segala sesuatu yang kita dapatkan dalam kesadaran kira, karena semuanya itu memungkinkan bahwa itu merupakan hasil khayalan atau tipuan, dan segala sesuatu yang sampai kini kita anggap pasti dan benar. Misalnya, pengetahuan yang didapatkan dari pendidikan atau pengajaran, pengetahuan yang didapatkan dari penginderaan atau pengalaman, pengetahuan tentang adanya benda-benda atau tubuh kita, pengetahuan tentang Tuhan, bahkan pengetahuan tentang ilmu pasti yang paling sederhana (Descartes, 1953). Untuk membuktikannya, Descartes menunjukkan pengalaman mimpi yang nampak sangat nyata. Ketika kita melakukan sesuatu yang sama sekali tidak bisa dilakukan dalam keadaan sadar (terbang misalnya), dalam mimpi pasti akan nampak nyata bahwa kita bisa melakukannya. Karena itulah tidak ada satupun yang dapat meyakinkan bahwa kita sedang bermimpi saat itu. Dan jikalau kita tidak yakin bahwa kita saat itu sedang bermimpi, maka dipastikan kita tidak memperoleh pengetahuan atau kebenaran melalui pengalaman indra kita(Schick, 2002).

Dalam hal mencari tahu kebenaran yang hakiki suatu pengetahuan dan untuk memastikan bahwa sesuatu yang ada itu memang benar-benar ada dan bukan merupakan sebuah khayalan semata. Descartes membangun sebuah pondasi berpikir yang ia sebut dengan metode keraguan, yakni metode yang diawali dengan upaya meragukan segala sesuatu(Rosidi, 2002). Menurut Descartes, bisa saja ada sesuatu (oleh Descartes disebut “jenius dan setan jahat”) yang bisa menipu atau memalsukan sebuah penalaran. Sehingga bisa saja sesuatu yang dianggap salah menjadi benar atau sesuatu yang tampak salah akan tampak sebagai kebenaran.

Dalam hal ini Descartes tampak kesulitan untuk membuktikan dan mengetahui akan adanya dunia luar dimana dengan bertolak belakang pada gagasan “Cogito Ergo Sum”nya. Untuk membuktikan bahwa ia tidak tertipu tentang adanya dunia luar, maka ia bertolak dari adanya eksistensi Tuhan, karena menurutnya hanya Tuhan yang dapat menjamin ide ide kita yang jelas dan terpilah memang benar dan kita tidak tertipu oleh setan jahat. (Yusuf, 2002). Dalam hal ini. Descartes menggunakan argumen ontologis tentang eksistensi ketuhanan dari keraguan sebagai dasar metodenya. Tuhan disini merupakan penyebab ide yang sempurna dalam pemikiran kita.

Setelah meragukan segala hal, Tuhan bahkan keberadaanya sendiri. Maka disimpulkan bahwa ada sesuatu yang tidak dapat diragukan, yakni (saya) yang sedang ragu itu. Adanya saya yang merasa ragu membuktikan adanya saya yang berpikir (Cogito Ergo Sum). Tidak peduli berapapun dalam keraguan yang menghampiri pikiran, keraguan tersebut tidak dapat menelan habis dasar dari keberadaannya sendiri, yaitu eksistensi dari orang yang meragukan. Teori kebenaran pengetahuan yang dianut Descartes dan para kaum rasionalis adalah teori koherensi. Teori ini merupakan suatu proposisi atau makna pernyataan dari suatu pengetahuan bernilai benar bila proposisi itu mempunyai hubungan dengan ide-ide dari proposisi yang terdahulu bernilai benar (UGM, 2003).

Keimanan

Tuhan dipahami sebagai Roh maha kuasa dan asas dari suatu kepercayaan, tidak ada kesepakatan bersama mengenai konsep ketuhanan, sehingga ada berbagai konsep ketuhanan meliputi teisme, deisme, panteisme, dan lain-lain. Dalam pandangan teisme Tuhan merupakan pencipta sekaligus pengatur segala kejadian di alam semesta. Tuhan hanya ada satu tidak berwujud, tidak juga memiliki pribadi sumber segala kewajiban moral dan hal terbesar yang dapat direnungkan. Tuhan sebagai sesuatu yang abstrak telah mengaruniakan akal atau rasio kepada manusia, sehingga manusia pun menjadi ciptaan paling sempurna dibandingkan ciptaan Tuhan yang lainnya. Dengan akal, manusia senantiasa berpikir dan dengan berpikir manusia menghasilkan pengetahuan dan dengan pengetahuan dan ilmunya, manusia dapat menghadapi dan memecahkan masalah kehidupannya. Ilmu pengetahuan manusia setiap saat berkembang, perkembangan tersebut dapat menyebabkan perubahan dasar-dasar pokok kehidupan manusia. Bahkan perubahan tersebut dapat berjalan dengan cepat dan sangat berpengaruh pada berbagai unsur kehidupan. Perkembangan pemikiran manusia pada dasarnya ditandai dengan usaha mempergunakan akal atau rasionya untuk memahami segala sesuatu, termasuk didalamnya pemahaman tentang Tuhan sebagai penciptanya.

Pembahasan mengenai tentang Tuhan dalam sejarah pemikiran manusia memang senantiasa menarik untuk diteliti, ada berbagai spekulasi dan bukti-bukti tentang keberadaan Tuhan secara variatif telah banyak di tengahkan oleh para ilmuan pandai dalam setiap masa. Dalam sejarah peradaban yunani, tercatat bahwa pengkajian dan perhatian penuh tentang eksistensi Tuhan menempati tempat yang khusus dalam bidang pemikiran filsafat. Contoh yang paling nyata dari usaha kajian filsuf tentang eksistensi Tuhan dapat dilihat bagaimana filsuf Aristoteles menggunakan Gerakan gerakan yang nampak di alam dalam membuktikan adanya penggerak yang tidak terlihat (wujud tuhan). Membahas tentang Tuhan merupakan suatu persoalan umum yang di permasalahan oleh pemikir filsafat.

Ketika kita membahas tentang hakikat alam, wujud Tuhan tidak terpisahkan dari pengetahuan alam, begitupula sebaliknya, wujud alam mustahil terpisah dari ribuan faktor yang berpengaruh atas alam, Keyakinan terhadap wujud Tuhan adalah aspek terpenting dalam proses beragama, manusia secara universal menerima peranan agama dan meyakini kepada agamanya masing-masing. Para ahli ilmu sosial dari berbagai disiplin ilmu , yang berbeda seperti psikologi, sosiologi, antropologi filsafat, banyak mengemukakan pandangan masing- masing dalam menerangkan kenapa manusia menganut dan bertuhan. Mengkaji wujud Tuhan tidak saja menyangkut keimanan manusia, namun juga dibutuhkan argumen-argumen rasional, integral dan analitis. Dengan demikian dibutuhkan analisis integral terhadap dalil-dalil ataupun argumen-argumen mengenai wujud Tuhan tersebut, khususnya argumen logika yang mencoba membangun argumentasi rasional didampingi doktrin agama dan wahyu yang ada. (*)

News Feed