English English Indonesian Indonesian
oleh

Per-predator-an!

SuarA : Nurul Ilmi Idrus

Akhir-akhir ini kasus pelecehan seksual kembali menggema di lingkungan perguruan tinggi, institusi yang dianggap sebagai benteng moral, namun tercoreng oleh perbuatan yang seharusnya tidak terjadi di perguruan tinggi, yang pelaku dan korbannya adalah civitas akademika.

Ketika Permendikbudristek No. 30/ 2021 tentang Pencegahan, Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi tentang Pencegahan, Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi terbit di akhir tahun 2021, banyak yang mensyukuri eksistensinya karena selama ini kasus-kasus pelecehan tersembunyi di belakang pintu yang tertutup (hiding behind the closed door). Ini disusul dengan terbitnya Permendikbudristek No. 46/ 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (Permendikbudristek PPKSP) dua tahun kemudian, yang salah satu pasalnya berkaitan dengan pembentukan tim dan satgas. Banyak yang berharap bahwa dengan adanya Permen ini, pelecehan seksual di lingkungan kampus tidak terjadi lagi, meskipun ini berkesan over confidence, karena diyakini banyak terjadi di belakang layar (behind the scene).

Namun, tidak sedikit yang gelisah, terutama laki-laki karena dianggap bahwa Permen ini akan dengan sangat mudah menjerat laki-laki. Ini cukup beralasan mengingat bahwa ke banyak kasus pelecehan seksual yang muncul ke permukaan, pelakunya adalah laki-laki. Meskipun pelecehan laki-laki oleh perempuan juga terjadi. No game, no pain!

Sejak kehadiran Permen-Permen ini, sejumlah kasus muncul ke permukaan, dan ada yang menganggap bahwa kemunculan kasus-kasus tersebut karena adanya permen tersebut. Padahal kasus-kasus pelecehan seksual sejak dulu selalu ada, hanya saja kasus seperti ini bagai fenomena gunung es. Yang terekspos bahkan viral di media-media sosial mungkin tidak seberapa dibandingkan dengan kasus-kasus yang tidak terekspos. Namun, di belakang layar banyak yang “tersenyum bahagia” menyaksikan kasus terekspos karena mereka adalah korban-korban predator semasa kuliah, tapi tak terekspos karena mereka takut “bersuara.”

Alasan-alasan spekulatif yang muncul ketika kasus terekspos cukup beragam. Ada yang mengatakan, bahwa sang predator menganggap “anak” kepada korban. Apakah ia akan membiarkan saja jika anaknya mengalami pelecehan seksual? Jika predator menganggap yang bersangkutan sebagai “anak,” maka seharusnya dia dimasukkan dalam daftar Kartu keluarga (KK). Predator lain mengatakan bahwa dia tidak bermaksud melakukan pelecehan seksual. Kalau tidak bermaksud, maka mata, mulut, dan tangan dijaga, tidak menggerayang kemana-mana. Yang lain beralasan bahwa ia “khilaf” ketika melakukannya, terjadi di luar kesadarannya, seakan-akan sang predator sedang “pingsan” ketika melakukan pelecehan seksual. Seperti halnya perselingkuhan, pelecehan seksual dilakukan secara sadar karena ada proses yang mendahuluinya (tidak seperti Mr. Bean yang tiba-tiba jatuh dari langit) dan terjadi secara berulang. 

Kasus-kasus pelecehan yang viral membuat para predator “tiarap” dan mungkin berdoa agar pelecehan seksual yang dilakukan tidak muncul ke permukaan. Mereka yang kasusnya terekspos dianggap sebagai predator yang sedang “ketiban sial” saja  karena banyak kasus lain yang tidak muncul. Para pembela predator juga tak sedikit, mungkin di antara pembelanya adalah predator yang belum “ketiban sial.” Pembelaan-pembelaannya juga manipulatif, misalnya, “kasian keluarganya” jika ia disanksi terlalu keras. Seharusnya predator memikirkan keluarganya sebelum melakukan pelecehan seksual, bukan korban yang harus memikirkan keluarganya. Contoh komentar lainnya bahwa predator sudah cukup menderita karena kehilangan jabatan dan kasusnya menjadi konsumsi publik, seakan jabatan jauh lebih penting ketimbang trauma yang harus ditanggung korban. 

Akankah sanksi yang diberikan pada para predator dapat memberikan efek jera, atau ini hanya bagian dari dinamika per-predator-an, yang akan hilang ditelan bumi as time goes by. Let’s see

News Feed