(Catatan Pertunjukan: Sultan Hasanuddin Ayam Jantan Dari Timur Karya Asia Ramli Prapanca)
Oleh: Muhammad Fadhly Kurniawan
Tulisan ini merupakan hasil pembacaan pada panggung seni pertunjukan berjudul “Sultan Hasanuddin, Ayam Jantan Dari Timur”, karya Asia Ramli Prapanca. Bertempat di lapangan Fakultas Seni dan Desain, Universitas Negeri Makassar, pada hari Selasa malam tanggal 26 November. Pembukaan kegiatan disambut oleh perwakilan BPK Wil IX, Aulia Rahmat dan dibuka secara resmi oleh rektor UNM, Prof. Karta Jayadi, M. Sn. Program ini merupakan bagian dari Kementerian Kebudayaan Fasilitasi Bidang Kebudayaan Teater Kepahlawanan 2024.
Saya sangat senang mendapatkan informasi bahwa akan ditampilkan sebuah karya alih wahana, dari teks menjadi seni pertunjukan, apalagi disutradarai oleh maestro teater Pak Ram, sapaan akrabnya. Seusai pertunjukan, saya sedikit berdiskusi bersama beliau perihal di balik pertunjukan, Ia mengatakan bahwa data utama pertunjukan ini merupakan hasil pembacaan arsip dan jurnal ilmiah oleh tim riset, yang kemudian diinterpretasikannya sehingga menjadi sajian seni pertunjukan. Lanjutnya, karya berdurasi dua jam ini digarap kolektif bersama tim produksinya selama kurang satu bulan prosesnya. Tentu, dalam menyuguhkan sebuah pertunjukan besar pasti membutuhkan persiapan yang matang, apalagi mengenai nama baik sutradara dan sosok tokoh I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape Muhammad Bakir Sultan Hasanuddin. Pertunjukan berjalan cukup baik, dinamika pertunjukan tetap terjaga, dan energi penonton tetap fokus selama pertunjukan berlangsung. Namun, saya punya catatan khusus bagi tim riset dan sutradara tentunya mengenai pertunjukan yang disajikan malam itu.
Sebuah pertanyaan dasar yang terbenak ialah apakah ini suatu kebetulan atau memang sebuah konsep pertunjukan, bahwa pertunjukan ini memang diadakan untuk memperingati perjanjian Bongaya, mengingat Sultan Hasanuddin menandatangani perjanjian ini pada bulan yang sama yaitu pada tanggal 18 November 1667, sekitar 357 tahun silam. Beralih ke pertunjukan, saya mencatat sekitar lebih dua puluh scene atau babak adegan yang ditampilkan, untuk memudahkan fokus baca, selanjutnya akan saya uraikan secara deskriptif tiga babak besar beserta komentarnya, yaitu pada masa kecil dan remaja di kerajaan Makassar (Gowa-Tallo); masa kedatangan VOC dan perang Makassar; masa perjanjian Bongaya dan kondisi Sultan Hasanuddin pasca perang Makassar.
Pertunjukan diawali dengan pembacaan riwayat hidup Sultan Hasanuddin dengan jenis lantunan sure’/massure’, awalnya hampir saya duga bahwa akan dibuka dengan Sinrili’ atau royong namun keliru. Sejauh pengamatan panggung pertunjukan, ini adalah opening pertunjukanyang segar bagi konteks pertunjukan tema suku Makassar, mengingat tradisi sure’ populernya ditemukan di kebudayaan Bugis, yaitu saat membacakan kisah I La Galigo.
Seperti yang disebutkan sebelumnya, babak awal pertunjukan merupakan penggambaran mengenai masa kecil hingga dewasa Sultan Hasanuddin, yaitu dimulai dengan suasana pengajian, perguruan silat manca’, seni akrobat paraga, latihan bersama para Tubarani (pasukan perang). Dalam scene suasana pengajian, aroma spiritualnya sangat kental, saya cukup terbawa energi musik dan efek cahaya panggung, pada bagian ini merupakan bukti bahwa Sultan Hasanuddin memiliki pondasi pengetahuan agama yang kuat dan matang. Dalam adegannya, para santriwan-santriwati berkostum putih (santriwati bermukenah) mulai berjalan dari sisi kanan dan kiri penonton memasuki panggung, mereka masing-masing membawa sandal hitam dan berkopiah. Kemudian Sultan Hasanuddin mengenakan kopiah beriringan para bangsawan beserta dua orang yang sepertinya adalah gurunya, dan apabila itu benar beliau salah satunya adalah Karaeng Pattingalloang. Komentar saya pada babak ini adalah mengenai kopiah yang digunakan Sultan Hasanuddin, mengapa tidak menggunakan songkok guru atau pamiring? Sangat disayangkan, padahal simbol songkok guru merupakan bukti bahwa dirinya adalah penganut ilmu (spiritual) yang dalam. Kemudian para santri, mengapa mereka tidak memakai passapu atau destar ya? Padahal nilai filosofis passapu sangat dalam dan mencerminkan sebuah simbol penganut suatu ajaran. Pun penggunaan sendal tidak berkorelasi dengan konteks zaman abad ke 17 saat itu, masyarakat di Makassar dominan masih bertelanjang kaki saat bepergian di area lokal.
Lebih lanjut, pada adegan manca’ dan paraga disajikan oleh anak kecil dan remaja, cukup menarik dan atraktif permainannya, namun, yang saya notice adalah latihan bersama para prajurit perang Tubarani dan pasukan Balira, I Fatimah Daeng Takontu, anak dari Sultan Hasanuddin. Hal ini sempat membuat saya bertanya, apakah pada era dulu kedua pasukan ini memang pernah latihan bersama? Mengingat pertemuan antara laki-laki dan wanita sangat tabu terjadi pada masanya. Pada sesi ini, kostum yang digunakan I Fatimah adalah hijau yang merupakan warna anak bangsawan, sedangkan para prajuritnya adalah biru. Sejauh pengetahuan yang saya ketahui, warna biru tidak termasuk dalam golongan warna yang dikenakan para puan Makassar (merah muda dan tua, hijau, hitam dan putih), idealnya menurut saya adalah menggunakan warna merah muda, yang mencerminkan ana’ dara (pemudi) berjiwa ksatria.
Memasuki babak kedatangan VOC dan perang Makassar, saya mencatat pula beberapa poin. Saat Sultan Hasanuddin sedang mengontrol pelabuhan, kembali beliau menggunakan Pattonro bukan songkok pamiring, bukankah identitas Pattonro hanya digunakan para prajurit Tubarani saja? Pun dalam kaidahnya, posisi cappa’ pattonro (ujung destar)dapat menjadi simbol yang menafsirkan suasana kampung yang terjadi saat itu. Saya kembali mengingat perkataan Alm. Syarifuddin Daeng Tutu saat wawancara tesis, beliau pernah mengatakan bahwa
“Posisi cappa’ pattonro yang dikenakan tubarani saat patroli keliling kampung dapat menjelaskan ke masyarakat mengenai kondisi kerajaan, misalnya cappa pattonro menghadap ke arah dalam atau mengarah ke sitto’ (pengikat), itu artinya kerajaan sedang aman. Kemudian apabila cappa pattonro berdiri tegak, itu artinya sedang siaga, perhatikan posisi cappa pattonro para paraga, ucap beliau. Dan apabila pattonro berdiri tegak lalu posisi cappa pattonro berlawanan arah dengan sitto’ maka bersiaplah untuk berperang”.
Sangat disayangkan simbol ini tidak dilambangkan pada Sultan Hasanuddin pada babak ini, yang ada hanya posisi cappa pattonro Sultan Hasanuddin selalu berdiri tegak, yang berarti siaga. Padahal pada saat adegan peperangan harusnya cappa pattonro beliau diarahkan keluar sebagai simbol perang sedang berlangsung.
Sebelum perang Makassar dikobarkan, terjadi negosiasi antara pihak VOC dan Kerajaan Makassar, namun, hal itu ditolak mentah-mentah oleh Sultan Hasanuddin karena hanya akan menimbulkan monopoli perdagangan oleh pihak VOC. Singkat kisah, penolakan tersebut membuat murka pihak kompeni, yaitu Cornelis Janszoon Speelman yang berposisi sebagai laksamana pemimpin armada perangan. Akhirnya peperangan tak terelakkan, pihak kompeni mengerahkan seluruh tenaganya, termasuk mengerahkan beberapa kerajaan lokal sebagai tenaga bantu mereka. Untungnya poin ini tidak disinggung dalam pertunjukan karena dapat mengundang kembalinya narasi “hitam-putih” dalam peristiwa sejarah panjang Sulawesi selatan. Bagi saya, narasi “hitam-putih” tersebut dibutuhkan pembacaan ulang kembali. Menurut pihak kompeni, perang Makassar adalah perang terbesar dan paling besar kerugiannya yang pernah mereka alami. Andai tanpa bantuan beberapa kerajaan lokal Nusantara, benteng kerajaan Makassar, benteng Sombaopu tidak akan dapat ditaklukkan. Mereka sangat kewalahan dengan ketangguhan meriam “anak Makassar” dan pasukan tubarani (Baca: Warisan Arung Palakka. Andaya, 2004).
Kembali pada konteks pertunjukan sebelum perang Makassar, saya berharap ada adegan simbolis para tubarani sebelum turun ke medan perang melakukan ritual dimandikan air suci di bungung barani (sumur pemberani). Menurut tradisi lisan, apabila prajurit tubarani telah dimandikan air suci tersebut akan menambah energi mereka dan pantang pulang sampai titik darah penghabisan. Kemudian, setelah mereka dimandikan, mereka semua berkumpul di sebuah gelanggang lalu melakukan ritual sumpah kesetiaan prajurit kepada rajanya, ritual ini dikenal dengan sebutan Angngaru Tubarani, untungnya ritual ini sempat dihadirkan saat perang Makassar berakhir; saat para bangsawan meminta ijin pamit di hadapan sombayya untuk melanjutkan perjuangan di tanah seberang, para bangsawan yang Angngaru yaitu Karaeng Karunrung, Karaeng Galesong, Karaeng Bontomarannu, Daeng Mangalle, bahkan turut serta I Fatimah.
Pada babak terakhir, yaitu masa perjanjian Bongaya dan kondisi Sultan Hasanuddin pasca perang Makassar, bagian ini cukup mengadukkan emosi penonton. Di sekitar saya ada yang mencibir kompeni dengan spontannya, bahkan sampai menitikkan air mata. Visualisasi yang ditampilkan saat perang usai dan dimenangkan oleh pihak VOC mengandung unsur haru. Betapa tidak, Sultan Hasanuddin dipaksa oleh kompeni untuk menandatangani perjanjian Bungaya/Bongaya yang tentu sangat merugikan bagi pihak kerajaan Makassar. Ada lima poin yang disebutkan Sultan Hasanuddin mengapa ia harus memilih “jalan damai” tersebut. Namun, ada satu poin vital yang luput diucapkan yaitu hancurnya lumbung pangan di Bantaeng dan Maros yang merupakan suplai utama konsumsi prajurit saat gerilya.
Sumber lisan yang saya dapatkan mengenai perjanjian Bungaya/Bongaya adalah bukan nama suatu daerah seperti yang beredar tersebut, namun, perjanjian tersebut merupakan bentuk paksa pihak VOC agar perjanjian tersebut ditandatangani oleh Sultan Hasanuddin, dan akhirnya beliau dengan terdesak menandatangani perjanjian tersebut bukan di atas meja, namun di atas pahanya, dalam bahasa Makassarnya adalah bongga. Olehnya itu, perjanjian tersebut pada dasarnya dapat dikata perjanjian Bonggayya bukan Bungaya/Bongaya. Mungkin saja kata Bungaya/Bongaya tersebut hasil translate dari aksara lontara Makassar oleh para sejarawan. Konteks ini perlu dikaji kembali.
Di adegan terakhir, tanpa kata-kata, Sultan Hasanuddin dikelilingi arakan tabuhan gendang Makassar, gerakan berputar di atas properti seakan menafsirkan teriakan dalam diri; perasaan gundah-gulana yang berkecamuk dalam dada beliau usai menandatangani perjanjian Bungaya. Menurut sutradara, dirinya sengaja meminimalkan kalimat dari mulut Sultan Hasanuddin karena seluruh percakapan yang dia keluarkan itu adalah hasil riset yang memang pernah tercatatkan dalam arsip sejarah.
Sebagai penutup, sedikit catatan besar lagi yang ingin saya utarakan adalah mengenai simbol aksara lontara yang sama sekali tidak digunakan dalam pertunjukan ini, baik dari desain flyer maupun dalam pertunjukan, padahal simbol aksara merupakan kemajuan suatu bangsa yang dimana pada saat itu merupakan masa kedigdayaan kerajaan Makassar. Kemudian, saat saya mengupload di media sosial, seorang seniman dari Jawa mengkritik panggung pertunjukan, ia mengatakan bahwa “panggung yang dibuat terkesan sangat terburu-buru”. Segala bentuk kritik dalam catatan ini merupakan bentuk kepedulian terhadap ekosistem dunia seni pertunjukan di Makassar. Tentu kita harapkan terciptanya gagasan dan warna baru dalam setiap pertunjukan, apalagi mengangkat tema budaya yang sangat kaya nilai sosial dan moralnya. Selanjutnya, harapan saya sebagai penikmat seni pertunjukan agar setiap event pertunjukan tidak hanya mengutamakan estetika panggung saja, namun mengupayakan pada pertunjukan simbol yang penuh makna filosofis agar kami dapat membaca dan mempelajari makna filosofis dari tanda-tanda yang telah diwariskan oleh leluhur.
Terima kasih dan salam hormat kepada seluruh tim produksi teater kepahlawanan Sultan Hasanuddin Ayam Jantan Dari Timur, para sponsor dan penonton yang telah membawa pulang spirit baru mengenai pengetahuan lokal bangsa Makassar. Semoga Sumanga’ mencintai nilai kelokalan melekat pada insan generasi selanjutnya di tanah to’dang ini. (*)