English English Indonesian Indonesian
oleh

Gus Miftah Menyerah, Sebuah Pelajaran dari Es Teh Sunhaji

Oleh: HERMAN KAJANG*

Pelajaran penting tersaji dalam drama “es teh” pekan ini. Moralitas dan kepekaan tetap menjadi atensi besar publik.

Miftah Maulana Habiburrahman alias Gus Miftah akhirnya menyerah. Di tengah kilatan kamera dan suasana Pondok Pesantren Ora Aji yang biasanya penuh khidmat, ia mengumumkan pengunduran dirinya.

Per Jumat, 6 Desember 2024, dia bukan lagi Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan. Dengan nada penuh penyesalan yang “dirancang” rapi, ia berbicara panjang lebar tentang kerendahan hati, ketulusan, dan kesadaran. Semoga ini adalah pengakuan jujur, bukan drama sinetron di panggung kekuasaan.

Semua ini berawal dari hal sederhana “es teh”. Sunhaji, penjual minuman sederhana yang hadir dalam acara Magelang Bersholawat, mendadak menjadi tokoh sentral dalam skandal yang memaksa seorang Gus (gelar yang biasanya diasosiasikan dengan kebijaksanaan dan welas asih) mengundurkan diri.

Di antara lantunan salawat dan tawa riuh, Miftah melontarkan celetukan yang mungkin menurutnya lucu, tetapi bagi Sunhaji, itu adalah penghinaan langsung kepada perjuangannya. “Es tehmu masih banyak? Ya sana jual, go6L0x!” katanya, dengan nada santai yang menusuk seperti pedang. Sunhaji hanya diam, menurunkan tatakannya, dan menghela napas. Adegan kecil ini, entah bagaimana, berubah menjadi api besar yang membakar citra sang Gus.

Reaksi Meluas

Tak perlu waktu lama bagi warganet untuk bereaksi. Mereka, dengan kekuatan jempol dan paket data, menciptakan badai yang tidak bisa dihentikan oleh sorban sebesar apa pun. Dalam hitungan jam, sebuah petisi pencopotan Gus Miftah muncul di platform daring, lengkap dengan narasi dramatis yang menggugah emosi: seorang bapak penjual es teh dihina di depan umum oleh seorang tokoh agama.

Lebih dari seratus ribu tanda tangan terkumpul dalam waktu singkat, dengan komentar-komentar pedas yang membuktikan bahwa rakyat Indonesia, meski sering diam terhadap korupsi dan ketidakadilan, ternyata tidak bisa menerima penghinaan terhadap penjual es teh.

Sebanyak 318.479 orang telah menandatangani petisi pada Jumat, 6 Desember 2024 pukul 17.00 WIB. Petisi itu mendesak Presiden Prabowo Subianto mencopot Miftah Maulana Habiburrahman dari jabatannya sebagai utusan khusus presiden. Hanya butuh dua sejak petisi itu dibuat, Gus Miftah menyatakan mundur dari jabatannya.

Konferensi pers di Pondok Ora Aji menjadi momen refleksi bagi Gus Miftah untuk menyampaikan alasannya mundur dari jabatan. Dengan kerendahan hati, ia mengakui kekhilafan dan menegaskan bahwa dirinya adalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan. “Saya ini manusia biasa,” katanya. Dia mengingatkan bahwa setiap individu, tak terkecuali dirinya, selalu memiliki ruang untuk belajar dan memperbaiki diri. Banyak yang berharap, langkah ini bukan sekadar penyesalan, tetapi juga sebuah komitmen untuk menumbuhkan kebijaksanaan dan kehati-hatian di masa mendatang. Pengunduran dirinya menjadi pengingat bagi kita semua, bahwa keberanian untuk bertanggung jawab adalah awal dari perubahan yang lebih baik.

Sementara itu, Sunhaji tetap berdagang seperti biasa. Sosoknya yang sederhana kini menjadi ikon perjuangan rakyat kecil. Meme-meme tentang es teh bertebaran di dunia maya, dari gambar Sunhaji menyerahkan segelas es teh kepada Gus Miftah dengan tulisan “Segar, tapi menyakitkan,” hingga video editan di mana Sunhaji menjadi pembicara utama dalam forum internasional bertajuk “Keadilan Sosial dan Minuman Dingin.”

Dalam setiap candaan itu, ada rasa getir yang tak bisa dihapuskan, rasa bahwa perbedaan status sering kali melahirkan ketidakadilan yang paling menusuk. Namun, yang paling ironis adalah jabatan yang ditinggalkan oleh Gus Miftah.

Sebagai Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan, ia seharusnya menjadi simbol harmoni. Bagaimana mungkin seseorang yang tidak bisa rukun dengan seorang penjual es teh menjadi duta kerukunan untuk bangsa yang begitu kompleks?

Bahkan, salah satu warganet dengan sinis menulis, “Kalau begini caranya, jangan-jangan kita perlu cari penjual es teh untuk jadi Utusan Khusus Presiden berikutnya. Minimal, mereka lebih paham apa itu menghargai orang lain.”

People Power

Dengan segala drama ini, satu hal yang pasti: jabatan, gelar, atau sorban sekalipun tidak akan menyelamatkan seseorang dari hukuman rakyat jika keadilan diinjak-injak, meskipun “hanya” melalui sebuah celetukan. Mungkin, pada saat-saat refleksi mendalam, Gus Miftah akan merenung sambil meminum segelas es teh, berharap bahwa segarnya minuman itu bisa membantu menyejukkan hati yang kini terasa begitu panas.

Karena, pada akhirnya, hidup tidak melulu tentang ceramah di atas panggung. Kadang, hidup adalah tentang bagaimana kita menghormati orang yang berdiri di bawahnya.

Mundurnya Gus Miftah dari jabatan Utusan Khusus Presiden membawa hikmah yang, meski pahit, mengingatkan kita pada pelajaran yang mendalam. Bahwa dalam hidup, jabatan dan gelar hanyalah titipan; ia hanya bermakna jika diiringi dengan keluhuran budi dan penghormatan kepada sesama.

Sebuah celetukan kecil, yang mungkin dianggap ringan oleh lidah, bisa menjadi palu berat yang menghantam hati, terutama jika diarahkan kepada mereka yang tidak memiliki panggung untuk membela diri.

Sunhaji, si penjual es teh yang berdiri tenang di tengah keramaian, mengajarkan kepada kita bahwa kehormatan manusia tidak ditentukan oleh apa yang ia bawa di atas kepalanya, melainkan oleh kekuatan hatinya untuk tetap teguh meski dipermalukan. Dari peristiwa ini, kita belajar bahwa kehormatan sejati bukanlah tentang berapa tinggi mimbar tempat kita berdiri, melainkan tentang bagaimana kita memperlakukan mereka yang berdiri di bawahnya.

Mungkin, dengan langkah mundur ini, Gus Miftah diberi waktu untuk merenungi makna kerukunan yang sesungguhnya—kerukunan yang bukan sekadar retorika di depan massa, tetapi tercermin dalam setiap kata dan tindakan kecil yang membawa rasa hormat kepada orang lain.

Semoga, dalam keheningan pascapanggung ini, ia menemukan kembali esensi dari tugas seorang pemuka: tidak hanya menuntun umat dengan kata-kata, tetapi juga menjadi teladan dengan perbuatan. Karena pada akhirnya, yang paling kita butuhkan dari para pemimpin agama bukanlah suara yang lantang, melainkan hati yang lembut dan bijak untuk mendengarkan serta menghargai sesama manusia, tak peduli siapa mereka. (*)

*Penulis merupakan aktivis KOPEL Indonesia

News Feed