Ia juga menyoroti kebijakan Presiden terkait penangkapan ikan terukur. Menurutnya, ada dua wilayah tangkapan yang menjadi kendala besar bagi nelayan Sulsel.
“kapal nelayan Sulsel, sebagian besar menangkap ikan di luar wilayah yang ditetapkan. Jika regulasi tidak diubah, maka nelayan tidak dapat beroperasi,” ujarnya.
Selain itu, masalah lain yang diangkat adalah kebijakan PNBT (Penerimaan Negara Bukan Pajak Tarif).
“Nelayan di Sulsel terbiasa menjual hasil tangkapan dengan harga pasar, bukan harga standar. Sementara PNBT ditetapkan Rp5.000, padahal harga jual ikan sering kali hanya Rp3.000. Ini membuat nelayan rugi,” ungkap Chairil.
HNSI pun mendorong pemerintah melalui jalur legislatif untuk mengevaluasi kebijakan ini agar tidak memberatkan nelayan. Jika tidak, beberapa pasal dalam regulasi tersebut perlu diajukan untuk revisi.
Ketua Tim Kerja Penerapan Standar Metode Uji, Muhammad Irfan Rais, menyoroti mutu hasil tangkapan ikan nelayan Sulsel. Menurutnya, hanya 5 persen dari hasil tangkapan yang mampu menembus pasar ekspor.
“Hal ini terjadi karena mutu hasil produk perikanan belum mencapai standar ekspor. Oleh karena itu, edukasi kepada nelayan mengenai cara meningkatkan mutu perikanan sangat diperlukan,” jelas Irfan.
Ia menambahkan, faktor utama yang memengaruhi mutu adalah rantai dingin dan higienitas hasil tangkapan.
“Jika nelayan bisa menjaga kualitas ikan, seperti membawa es dalam kapal, menghindari bahan kimia berbahaya, dan mencegah kontaminasi bakteri, hasil tangkapan bisa diolah untuk ekspor,” katanya.