FAJAR, MAKASSAR-Seruan lantang menuntut keadilan bagi rakyat Papua terdengar di depan Asrama Kamasan Papua. Aksi unjuk rasa ini sekaligus memperingati Hari Deklarasi Kemerdekaan Papua pada 1 Desember. Namun, aksi damai tersebut kembali dihadapkan dengan tindakan represif dari aparat keamanan. Tiga orang ditangkap, termasuk seorang Asisten Pengabdi Bantuan Hukum dari LBH Makassar yang tengah memantau jalannya aksi.
“Kejadian ini bukan yang pertama. Sejak 2018, kami mencatat adanya peningkatan tindakan represif terhadap aksi-aksi mahasiswa Papua. Polisi kerap menggunakan alasan keamanan, padahal seharusnya mereka menangani akar masalahnya, bukan malah membatasi hak untuk menyampaikan pendapat. Aparat mestinya menjalankan fungsi perlindungan, bukan pembatasan,” ujar Salman Azis, Kepala Divisi Riset, Dokumentasi, dan Kampanye LBH Makassar.
Forum Solidaritas Mahasiswa dan Pelajar Peduli Rakyat Papua (FSMP-PRP) dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) mengeluarkan pernyataan sikap yang mendukung aksi tersebut. Demonstrasi ini digelar untuk memperingati 63 tahun deklarasi kemerdekaan West Papua, yang jatuh pada 1 Desember 1961.
Secara umum, protes tersebut menyoroti kebijakan pemerintah yang dinilai mencabut hak-hak masyarakat asli Papua, termasuk penolakan terhadap program transmigrasi ke wilayah Papua. Kebijakan itu dianggap secara perlahan menyingkirkan masyarakat asli Papua dari tanah mereka sendiri.
Tindakan Aparat yang Berlebihan
Tindakan represif aparat keamanan dinilai tidak sebanding dengan situasi yang dihadapi. Polisi dengan perlengkapan lengkap, termasuk gas air mata, pentungan, dan peluru karet, membubarkan massa yang hanya ingin menyampaikan pendapat secara damai.
Pada pukul 10.45 WITA, sebelum massa tiba di titik aksi, mereka sudah dihadang dan dipaksa mundur. Aparat keamanan melepaskan tembakan gas air mata, menyebabkan kepanikan di antara demonstran. Beberapa demonstran juga menjadi korban pemukulan. “Polisi menarik paksa salah satu peserta aksi, menendang, dan memukulinya dengan pentungan,” ungkap Wilman dari LBH Makassar.
Menurut pantauan LBH Makassar, setidaknya ada 15 mobil polisi yang diparkir di sekitar Asrama Kamasan Papua. Selain itu, terdapat satu unit mobil water cannon, satu unit mobil pengurai massa, dan ratusan aparat gabungan dari Polrestabes Makassar dan Brimob Polda Sulsel, serta puluhan anggota TNI yang berjaga dengan perlengkapan lengkap.
Aksi ini membawa tema: Memperingati 63 Tahun Deklarasi Kemerdekaan West Papua (1 Desember 1961 – 1 Desember 2024): Menolak Segala Bentuk Kebijakan Kolonialisme Indonesia, Bangun Persatuan Nasional yang Demokratis, serta Berikan Hak Menentukan Nasib Sendiri bagi Bangsa Papua Barat.
Tuntutan utama dari FSMP-PRP dan FRI-WP adalah sebagai berikut: 1. Menghentikan program transmigrasi ke Papua, baik legal maupun ilegal. 2. Menolak Otonomi Khusus dan pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB). 3. Membuka akses jurnalis secara luas di Papua. 4. Menarik militer organik dan non-organik dari wilayah Papua.
- Mengusut tuntas kasus penembakan Tobias Silak di Yahukimo. 6. Menyelesaikan kasus pembunuhan dan mutilasi terhadap Ibu Tarina Murib. 7. Menghentikan proyek cetak sawah dan penanaman tebu di Merauke yang merampas tanah adat seluas 2 juta hektar. 8. Membebaskan tahanan politik Papua tanpa syarat.
- Menutup PT Freeport, BP, LNG Tangguh, dan menolak pengembangan Blok Wabu serta proyek migas di Timika. 10. Menghentikan pembangunan fasilitas militer baru yang dinilai memperburuk situasi keamanan di Papua. 11. Mengadili pelaku pelanggaran HAM di Papua. 12. Menghentikan rasisme dan politik rasial terhadap masyarakat Papua. 13. Mendukung kemerdekaan Palestina dari penjajahan Israel. 14. Memberikan hak menentukan nasib sendiri bagi bangsa Papua sebagai solusi demokratis.
Penanganan represif terhadap aksi damai ini menjadi sorotan publik dan menuai kritik keras. Hak menyampaikan pendapat di muka umum merupakan hak konstitusional yang dijamin oleh Pasal 28E UUD 1945. Aparat keamanan diharapkan mampu menjalankan tugasnya dengan mengedepankan perlindungan hak asasi manusia, bukan dengan kekerasan. (*)