Oleh: Seniarwan
Awardee LPDP PK-236 dan Mahasiwa S3 Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, IPB University
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak baru saja usai, termasuk di Kota Makassar. Kini, masyarakat menantikan pengumuman resmi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengenai pasangan calon (paslon) yang akan memimpin kota ini dalam lima tahun ke depan. Di tengah euforia politik ini, musim hujan juga telah tiba, membawa kembali kekhawatiran akan potensi banjir yang semakin intens dari tahun ke tahun.
Makassar tidak asing dengan ancaman banjir. Data menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Pada Desember 2021, hujan deras selama tiga hari menyebabkan banjir setinggi 1 meter di berbagai wilayah (Kompas Regional, 07/12/2021) (Kompas Nasional, 14/02/2023).
Pada Februari 2023, kombinasi hujan lebat dan pasang air laut menggenangi 12 kecamatan, memaksa hampir 2.000 jiwa mengungsi. Awal 2024, banjir kembali melanda, terutama di Kecamatan Manggala dan Biringkanaya, dengan ketinggian air mencapai 100 cm di beberapa lokasi (ANTARA 18/01/2024). Fenomena ini bukan sekedar cerita musiman. Banjir di Kota Makassar adalah hasil dari interaksi kompleks antara faktor alami, seperti curah hujan tinggi dan pasang air laut, dengan intervensi manusia yang tidak terkelola, seperti alih fungsi lahan, urbanisasi tanpa kontrol, dan buruknya sistem drainase kota.
Saat kampanye Pilkada, isu ini kerap menjadi sorotan. Hampir semua paslon berbicara tentang pentingnya penanganan risiko banjir. Beberapa bahkan menawarkan program mitigasi yang terdengar menjanjikan—dari revitalisasi drainase hingga penerapan teknologi cerdas untuk prediksi banjir. Namun, bagi warga yang selama bertahun-tahun bergulat dengan genangan air, janji ini hanya berarti jika diwujudkan dalam tindakan nyata.
Mengapa Janji Politik Penting untuk Banjir Kota Makassar?
Banjir di Kota Makassar bukan hanya masalah lingkungan, ini juga persoalan sosial dan ekonomi. Genangan air yang berulang kali melumpuhkan aktivitas warga, merusak properti, dan bahkan mengancam nyawa, mencerminkan lemahnya perencanaan kota yang berorientasi pada keberlanjutan. Dalam konteks ini, janji politik terkait mitigasi banjir adalah ujian komitmen pemimpin terpilih untuk memprioritaskan kesejahteraan masyarakat di atas kepentingan sesaat.
Sayangnya, sejarah sering menunjukkan sebaliknya. Pendekatan pengelolaan banjir lebih sering fokus pada solusi struktural, seperti pembangunan tanggul atau normalisasi sungai, tanpa menyentuh akar masalah, seperti buruknya pengelolaan tata ruang dan kurangnya edukasi publik tentang kesadaran lingkungan. Reklamasi pantai, misalnya, terus dilakukan tanpa memperhitungkan dampaknya terhadap risiko banjir rob. Kawasan rawa dan daerah resapan air diubah menjadi permukiman atau pusat komersial, mengabaikan fungsinya sebagai penyeimbang ekosistem.
Langkah yang Harus Diambil
Pemimpin baru Kota Makassar harus memahami bahwa solusi jangka pendek tidak cukup untuk mengatasi persoalan banjir yang semakin kompleks.
Diperlukan strategi komprehensif yang melibatkan seluruh elemen masyarakat. Salah satu langkah penting adalah revitalisasi sistem drainase kota, yang selama ini tidak hanya berfungsi mengalirkan air hujan tetapi juga harus mampu menahan limpasan air akibat urbanisasi yang mengubah banyak permukaan menjadi kedap air. Selain itu, pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) Jeneberang dan Tallo perlu diperkuat dengan menjalin sinergi antara Makassar dan wilayah hulu (Gowa dan Maros) untuk mengurangi sedimentasi serta meningkatkan daya serap air. Kesadaran masyarakat juga harus ditingkatkan melalui kampanye edukasi yang menanamkan pentingnya menjaga lingkungan, seperti tidak membuang sampah sembarangan dan mendukung program penghijauan kota.
Dalam hal ini, penerapan teknologi prediksi dan respons cepat, seperti sistem peringatan dini berbasis kecerdasan buatan (AI), dapat membantu meminimalkan dampak banjir. Selain itu, pengendalian tata ruang harus diperketat untuk mencegah alih fungsi lahan yang memperburuk risiko banjir. Kombinasi kebijakan ini diharapkan tidak hanya menjadi solusi sementara, tetapi juga mampu menciptakan Kota Makassar yang lebih tangguh terhadap bencana di masa depan.
Menguji Komitmen Pemimpin Baru
Musim hujan akan terus datang, dan banjir bukan lagi kejutan bagi warga Kota Makassar. Namun, pertanyaannya adalah apakah pemimpin baru akan mampu membawa perubahan nyata? Janji politik tidak boleh berhenti pada pidato kampanye. Program mitigasi banjir harus diwujudkan dalam kebijakan yang berkelanjutan, dengan melibatkan masyarakat sebagai bagian dari solusi.
Kota Makassar membutuhkan pemimpin yang tidak hanya memahami kompleksitas masalah banjir, tetapi juga memiliki visi jangka panjang untuk menciptakan kota yang tangguh terhadap bencana. Di sinilah janji politik diuji—apakah hanya retorika kosong, atau langkah awal menuju perubahan yang berarti?
Semoga Makassar tidak hanya menjadi kota yang maju secara ekonomi, tetapi juga berkelanjutan secara ekologi, untuk generasi sekarang dan mendatang. Sembari menunggu hasil resmi Pilkada, penting bagi masyarakat Kota Makassar untuk tetap waspada terhadap potensi banjir dan mengikuti informasi serta arahan dari pemerintah setempat guna meminimalkan dampak yang mungkin terjadi. (*)