FAJAR, MAKASSAR-Pertunjukan teater kepahlawanan “Sultan Hasanuddin – Ayam Jantan dari Timur” karya sekaligus disutradarai Asia Ramli telah sukses digelar di Lapangan Kampus Fakultas Seni dan Desain Universitas Negeri Makassar (UNM) pada 26 November 2024, pukul 20.00 WITA. Pertunjukan ini diproduksi Sanggar Seni Teater Kita Makassar sebagai bagian dari program Fasilitasi Bidang Kebudayaan 2024 dari Kementerian Kebudayaan.
Menurut Sutradara Asia Ramli, pertunjukan ini merupakan teater epik. Setiap peralihan adegan ditandai perubahan cahaya, musik, dan video mapping animasi.
Pada adegan perdagangan rempah-rempah di pelabuhan Sombaopu/Makassar, muncul Sultan Hasanuddin bersama para Karaeng, melakukan aktivitas perdagangan.
Muncul pula orang VOC, Frederik melakukan penawaran kepada Sultan Hasanuddin untuk bekerja sama menjual rempah-rempah dengan harga yang telah merfeka tetapkan.
Akan tetapi, Sultan Hasanuddin menolaknya dengan berkata: “Marilah berniaga bersama-sama, mengadu untuk dengan serba kegiatan. Kalau kalian tidak mau, itu karena kalian Kompeni telah melihat besarnya keuntungan di negeri ini. Sedang saya memandang bahwa cara yang demikian itu adalah kezaliman. Hal itu bertentangan dengan kehendak Allah”.
Frederik pun marah, lalu mengancam “Kalau Tuan dan orang-orang di sini tidak mau mengikuti aturan kami, maka kami tidak akan segan-segan memaksakan aturan kami dengan cara apa pun. Jika perlu, kami akan menyiapkan pasukan untuk menyerang benteng-benteng pertahanan kalian”.
Ancaman ini membuat Sultan Hasanuddin gelisah sehingga ia memerintahkan kepada para Karaeng untuk menyiapkan pasukan untuk menghadapi VOC. Pada saat menyiapkan pasukan, tiba-tiba munculnya seorang Tobarani sambil melapor bahwa ada ada utusan dari VOC minta menghadap.
Frederik dan De Vires utusan VOC pun muncul dan mengundang Sultan Hasanuddin dan para pembesar kerajaan Gowa untuk bersilaturahmi di atas kapal.
VOC ingin menjalin kerja sama dalam perdagangan dan mengusahakan perjanjian persahabatan dengan Sultan. Tapi Sultan Hasanuddin dan para Karaeng menolak undangan itu, karena dianggap undangan itu sebagai tipu muslihat atau perangkap.
Frederik dengan gaya adu dombanya berkata: “Kami mengharap agar Tuan dan orang-orang Makasar tidak berdagang dengan musuh-musuh kami, terutama orang-orang Portugis, Spanyol dan Inggris.
Mereka adalah musuh yang sangat berbahaya. Mereka ingin monopoli perdagangan rempah-rempah di sini”. Sultan Hasanuddin menjawab ancaman itu dengan berkata: “Segala keinginan angkara murka Tuan, kami tolak. Sebab Kerajaan Gowa terbuka bagi semua bangsa yang mau mentaati hukum dan peraturan-peraturan yang berlaku di sini. Kerajaan Gowa tidak membedakan antara orang-orang Belanda dan orang-orang Portugis atau bangsa-bangsa yang lainnya”.
Mendengar hal itu, tiba-tiba muncul Cornelis Speelman di atas panggung, dan dengan pongah penuh ambisi berkata kepada Sultan Hasanuddin: Dengar, Tuan-tuan. Kami minta agar seluruh orang Portugis, Spanyol maupun Inggris harus diusir dari wilayah Makassar.
Mereka tidak boleh lagi diterima maupun tinggal di Makassar untuk melakukan aktivitas perdagangan. Jangan lagi diizinkan kapal-kapal mereka memasuki perairan laut dan pelabuhan di sini untuk berdagang.
Mereka itu bahaya, Tuan. Bahaya”.
Sultan Hasanuddin berkata: “Tuhan Yang Maha Kuasa telah menciptakan bumi dan lautan. Bumi telah dibagi-bagikan di antara manusia, begitu pula lautan telah diberikan untuk umum. Tidak pernah terdengar bahwa pelayaran di lautan dilarang bagi seseorang.
Jikalau Tuan, kalian VOC dan Belanda melarang hal itu, maka itu berarti bahwa kalian seperti mengambil nasi dari mulut orang lain. Oleh karena itu, segala keinginan angkara murka Tuan, kami tolak. Dan Tuan silakan pergi dari sini”. Cornelis Speelman dongkol dan marah. Lalu memerintahkan kepada Frederik dan De Vires agar menyiapkan pasukannya untuk mengibarkan bendera merah dan menyiapkan meriam-meriam ke arah Benteng Somba Opu.
Sultan Hasanuddin bersama para Karaeng menyiapkan pasukan untuk menghadapi pasukan VOC. Sultan Hasanuddin memerintahkan kepada para Karaeng untuk menyempurnakan benteng-benteng dan kubu-kubu pertahanan. Gelombang api perang melawan kompeni berkecamuk. Semburan api dan asap mesiu memenuhi laut, darat dan udara.
Sultan Hasanuddin bersama para Karaeng dan pasukannya terjun ke medan perang. Panji-panji perang menyerbu panggung sebagai ruang medan perang.
Di tengah-tengah perang yang dahsyat itu, semua pasukan mengikrarkan sumpah perang sampai titik darah penghabisan demi harga diri dan kehormatan negeri. Perang pun selesai. Sultan Hasanuddin dan para Karaeng sangat sedih.
Beberapa pasukannya tewas. Pasukan Gowa mengalami kekalahan. Corenelis Speelman, Frederik dan De Vires berdiri di tengah panggung, di atas mayat pasukan tombak dan pasukan balira. Bendera VOC berkibar di atas mayat. Kidung duka menyayat.
Pada babak kedua, atas kekalahan perang, Sultan Hasanuddin menandatangani Perjanjian Bongaya.
Isi Perjanjian Bongaya dibacakan oleh Cornelis Speelman: (1) Makassar harus mengakui monopoli VOC, (2) Wilayah Makassar dipersempit hingga tinggal Gowa saja, (3) Makassar harus membayar ganti rugi peperangan, (4) Hasanuddin harus mengakui Arung Palakka sebagai Raja Bone, (5) Gowa tertutup bagi orang asing selain VOC.
Sebelum ditandatangani, Sultan Hasanuddin dengan suara berat berkata: “Sesungguhnya karena kesabaran, rakyatku bersedia memberikan apa yang mereka inginkan dalam Perjanjian Bongaya melalui Aku.
Tapi mereka (kompeni) menghendaki jantungku, dan hati ini adalah martabat setiap manusia“. Lalu Sultan Hasanuddin menandatangani Perjanjian Bongaya.
Cornelis Speelman, Frederik dan De Vires saling melirik dengan rasa puas dan bahagia lalu meninggalkan Kampung Bongaya.
Setelah penandatanganan Perjanjian Bongaya, sebagian besar panglima Kerajaan Gowa yang dalam pertunjukan diwakili Karaeng Galesong, Karaeng Karunrung, Karaeng Bontomarannu, Daeng Mangalle dan I Fatimah Daengta Kontu, secara terang-terangan mengajukan protesnya kepada Sultan Hasanuddin.
Mereka merasa belumlah kalah dan masih ada harapan untuk memenangkan perang. Protes-protes itu dijawab oleh Sultan Hasanuddin, bahwa ada beberapa alasan yang melandasinya menandatangani Perjanjian Bongaya. “Pertama, Kekuatan Militer Belanda. Saya menyadari bahwa melanjutkan perlawanan bersenjata akan sulit menghadapi pasukan yang lebih kuat. Kedua, Kelelahan Perang. Perang yang terus-menerus akan merugikan lebih banyak orang dan merusak kerajaannya secara keseluruhan.
Ketiga, Kondisi Ekonomi. Konflik dengan Belanda telah mengganggu perekonomian kerajaan. Dengan menandatangani perjanjian, kita dapat memulihkan perekonomian kerajaan yang terhambat akibat perang. Keempat, Strategi Perang Lanjutan. Kita bisa mempersiapkan strategi perang yang lebih bijak untuk menggabungkan pasukan dan mendapatkan dukungan dalam perjuangan melawan penjajah Belanda di masa depan.
Kelima, Menjaga Kepentingan Kerajaan. Meskipun perjanjian ini tampak merugikan bagi Kerajaan Gowa, tapi saya telah mempertimbangkan bahwa dengan mengikuti perjanjian, kita dapat mempertahankan beberapa benteng kekuasaan dan mencegah kehancuran total kerajaan Gowa. Ini adalah cara untuk memastikan kelangsungan kerajaan dan kepentingan rakyat kita”.
Pada babak ketiga, meskipun Sultan Hasanuddin telah menyampaikan alasannya menandatangani Perjanjian Bongaya, tapi para Karaeng masih tidak menerimanya. Mereka merasa bahwa mereka belum kalah dan masih ada harapan untuk memenangkan perang. Oleh karena itu, mereka mempertanyakan keberanian Sultan Hasanuddin mengelurkan titah untuk perang.
Tapi Sultan Hasanuddin menjawab dengan suara tenang dan dalam: “Keberanian tidaklah cukup untuk menjadi seorang pemimpin, lebih dari itu dibutuhkan kearifan. Menang atau kalah dalam peperangan hanyalah menguntungkan pihak VOC.
Andaikan kita beserta sekutu kita mampu bertahan dan memenangkan perang, tetaplah pula mengorbankan nyawa saudara-saudara sebangsa sendiri. Hal yang semestinya tidak terjadi namun terlanjur jua”.
Jawaban Sultan Hasanuddin tidak membuat para Karaeng patah semangat. Mereka tetap siap berjuang melawan bangsa penjajah sampai titik darah penghabisan. Mereka mulai mengatur strategi perang sambil menunggu titah Sultan Hasanuddin kembali berperang melawan pasukan VOC. Para Karaeng menekan Sultan Hasanuddin untuk segera bertitah. Sebab mereka telah menyatui dengan tombak dan badik.
Menjadi batang-batang tubuh yang tak akan goyah. Mantera-mantera nenek moyang telah menggema bersama takbir Allahu Akbar! Sekali berkata untuk kebenaran. Tak akan mereka ingkari selamanya. Mereka telah siap terjun ke medan perang fisabilillah! Sekali mereka turun perang, mereka harus menang. Kalau pun kalah, harus kalah secara jantan. Syahid fisabilillah.
Sejak di rahim bunda mereka menggenggam bismillah. Kepada Ilahi Rabbi mereka menyandang fardu amanah. Siap bertaruh seluruh hidup, membela siri’ na pacce Mangkassara. Mereka merasakan arus gaib yang mengalir dalam darah mereka. Sekali berkata untuk kebenaran, tak akan mereka selamanya. Mereka semua To’dopuli! Lalu semua para Karaeng melakukan angngaru atau sumpah setia kepada Sultan Hasanuddin dalam bahasa Makassar.
Setelah itu mereka secara bersama-sama memohon di hadapan Sultan Hasanuddin untuk bertitah. Tapi Sultan Hasanuddin hanya diam dalam balutan psikologis yang dalam. Diamnya ini membuat para Karaeng dengan marah meninggalkan Sultan Hasanuddin di ruangan itu sendirian. Pada akhir adegan, secara simbolik ditampilkan adegan Sultan Hasanuddin yang sendirian itu naik dan duduk di atas meja tempat penandatangan Perjanjian Bongaya.
Ia dikelilingi 21 pasukan gendang yang muncul dari arah kiri kanan penonton dengan memainkan gendang pakkanjara (Genderang Perang Mangkassara).
Di tengah genderang perang ini, Sultan Hasanuddin hanya diam, tafakkur, hening, sambil berputar pelan, lalu berdiri, dan terus berputar pelan, moksa dalam diam. Dan diamnnya ini sebagai jawaban yang paling fasih, lebih keras daripada kata-kata, sebagai sumber kekuatan yang besar, sebagai senajata kekuatan pamungkas.
Menurut sutradara, pertunjukan ini mengandung pesan agar generasi muda dapat menghargai perjuangan kepahlawanan Sultan Hasanuddin sebagai warisan berharga. Karena perjuangannya yang penuh tantangan, ketekunan, keberanian, dan kerja keras dapat menginspirasi untuk dapat mempertahankan identitas, budaya, tradisi dan nilai-nilai sejarah, budaya, dan pendidikan.
Selain itu, agar generasi muda dapat belajar dari kesalahan masa lalu dan tidak mengulangnya di masa depan. Dengan demikian, generasi muda dapat memahami nilai-nilai universal seperti keadilan, persamaan, dan martabat manusia. (*)