Namun, di sekolah itu, Lala justru mulai drop. Dia tidak punya banyak teman dan lebih parahnya lagi, guru-gurunya malah menjadikannya objek diskriminasi. Ia mengaku nyaris semua guru menolaknya, merendahkan dan menjatuhkan mimpi-mimpinya.
Perundungan bertubi-tubi yang dirasakan membuatnya trauma dan hanya bisa berdiam diri di sekolah. Dari pengakuannya beberapa guru menolak untuk memeriksa tugas-tugas yang Lala buat di laptop.
Alhasil banyak mata pelajaran yang tidak mendapat nilai. Jika pun ada, paling hanya nilai formalitas yang tidak lebih dari nilai 40. Raportnya pun penuh tanda merah. Bahkan, pernah suatu ketika, ia hendak dikeluarkan dari sekolah.
“Yang bisa sekolah di sini cuma orang yang ada matanya, ada telinganya, ada tangannya, lengkap badannya. Yang bisa menulis pake tangan, kira-kira begitu kalimat yang guruku bilang ke saya saat baru bulan kedua sekolah di sana. Kurang lebih tiga tahun saya bersekolah di sana, kalimat- kalimat semacam ini terus saya dapat di sekolah,” kenangnya.
Singkat cerita, dari pengalaman dari seniornya sekolah di SLB, ia mulai membuka diri, dan belajar banyak di organisasi Perdik (Persatuan Difabel Indonesia untuk Kesetaraan). Di sana, ia bertemu orang-orang yang banyak membantunya.
Bahkan, melalui pendampingan hukum yang dilakukan Perdik, Lala yang awalnya dikecam dan terancam dikeluarkan dari sekolahnya, berhasil mendapatkan haknya untuk bisa bersekolah dimanapun yang ia mau.
Mimpi Kuliah di Unhas
Selalu dipandang sebelah mata. Begitulah kira-kira yang dialami Lala saat mengutarakan keinginannya untuk di masuk di perguruan tinggi negeri. Tak sedikit dari teman-temannya yang meragukan dirinya untuk bisa mencapai kampus impiannya. Apalagi, para penyandang disabilitas biasanya kuliah di jurusan Pendidikan Luar Biasa (PLB).