Saat itu, anak tunggal ini baru duduk kelas dua SMP. “Sebenarnya semua usaha sudah ditempuh untuk sembuh. Berobat di orang pintar hingga operasi berkali-kali. Namun, tidak ada hasil,” ujarnya.
Ia mengaku sedih saat itu, apalagi ia harus putus sekolah dan tidak bertemu teman-temannya. Upaya yang dilakukan orang tuanya agar ia bisa terus belajar adalah memasukkan Lala ke sekolah khusus atau Sekolah Luar Biasa. Ia pertama kali belajar di Yapti (Yayasan Persatuan Tunanetra Indonesia) yang berlokasi di Jalan Kapten Pierre Tendean, Makassar.
Di sana Lala belajar banyak hal. Menyesuaikan diri dengan matanya yang terus mengalami penurunan penglihatan. Ia juga mulai belajar hidup mandiri sebagai tuna netra. Berjalan dengan tongkat, meraba barang, lebih mengandalkan telinga dan menulis dengan braille.
Di sekolah tersebut, Lala mulai berinteraksi sesama tuna netra di sekolahnya. Semangat untuk kembali belajar terus berkobar di dalam dirinya, ia juga belajar menggunakan teknologi pembaca layar yang digunakan difabel tuna netra untuk mengakses gawai dan laptop.
Dia belajar dengan cepat, belajar banyak hal baru dan juga mendapat teman baru. Ia yang awalnya tak cukup banyak berkegiatan sejak divonis mengalami kebutaan. Namun seiring perjalanan waktu, mulai menerima kondisinya dan mulai sibuk dengan pelajaran dan kurikulum sekolahnya.
Kemudian, genap satu tahun bersekolah di SLB, Lala akhirnya lulus SMP dengan nilai terbaik di angkatannya. Dia pun memutuskan untuk keluar dari SLB dan memilih melanjutkan pendidikan di sekolah umum, di salah satu SMA Negeri di Makassar.