Oleh Ahmad M. Sewang
Guru Besar Sejarah UIN Alauddin Makassar
Mahasiswa sungguh punya pikiran idealisme karena ikut memikirkan kesejahteraan rakyat, sesuai tujuan UUD 45, tetapi dalam praktik justru menghalangi masyarakat mencapai kesejahteraan itu dengan menutup jalanan.
Mahasiswa sebagai manusia kebanyakan umumnya menginginkan perkuliahan yang menyenangkan, tetapi baru saja disiarkan Media Indonesia, mereka justru merusak dan membakar fakultasnya, Fakultas Budaya Universitas Hasanuddin Makassar. Perilaku demikian ikut membuat saya kebingungan.
Fenomena kontradiksi antara pikiran dan tindakan mahasiswa seperti di atas memang menjadi sorotan penting. Mahasiswa, sebagai generasi terdidik yang diharapkan menjadi agen perubahan, seringkali memiliki idealisme tinggi. Namun, implementasi dari idealisme tersebut tidak selalu selaras dengan tindakan yang dilakukan.
Dalam kasus memblokade jalan, mahasiswa mungkin bermaksud menyuarakan aspirasi dan memperjuangkan keadilan sosial, tetapi tindakan tersebut justru merugikan masyarakat yang sedang mencari nafkah, yang berlawanan dengan tujuan kesejahteraan yang mereka suarakan. Ini menunjukkan perlunya refleksi mendalam agar perjuangan yang dilakukan tidak melanggar hak orang lain atau mencederai nilai-nilai yang mereka bawa.
Adapun perilaku merusak dan membakar fasilitas kampus, seperti yang terjadi di Fakultas Budaya Universitas Hasanuddin, mencerminkan emosi yang tidak terkendali atau mungkin kekecewaan yang tidak tersalurkan dengan baik. Perilaku ini tidak hanya merugikan kampus sebagai institusi, tetapi juga mencerminkan ketidakmatangan dalam menyelesaikan konflik.
Kebingungan yang muncul akibat ulah mahasiswa adalah hal yang wajar, mengingat seharusnya mahasiswa sebagai insan akademis mampu berpikir kritis dan bertindak secara rasional. Situasi ini mengingatkan kita pada pentingnya pendidikan karakter di perguruan tinggi. Selain mengasah kemampuan intelektual, mahasiswa juga perlu dibekali dengan nilai-nilai etika dan tanggung jawab sosial agar tindakan mereka selaras dengan cita-cita mulia yang mereka perjuangkan.
Jika dikelola dengan baik, mahasiswa dapat menjadi kekuatan konstruktif dalam masyarakat. Namun, tanpa kontrol emosi dan kesadaran sosial yang memadai, potensi mereka bisa berubah menjadi destruktif. Dialog antara mahasiswa, pihak kampus, dan masyarakat luas sangat diperlukan untuk menjembatani kesenjangan antara idealisme dan praktik.
Saya setuju dengan pemikiran almarhum Prof Dr Halim Mubin dengan menawarkan ide agar dibangunkan sebuah lapangan, tempat mengungkapkan idealismenya dengan bebas sehingga tidak lagi menghalangi masyarakat mencari kesejahteraan. Tetapi pertanyaannya, apa mereka bisa menerimanya? Sebab yang mereka sukai jika dapat perhatian publik bahkan di antara mereka lebih suka jika banyak orang terhalang. (Kompleks GPM, 1 Desember 2024)