Oleh: Herman (Ketua KOPEL Indonesia)
Pencoblosan pada tanggal 27 November 2024 usai sudah. Pesta demokrasi ini seharusnya menjadi titik puncak bagi pelaksanaan demokrasi di Indonesia, tetapi sayangnya, bayang-bayang politik uang justru menyelimuti hari tersebut.
Fenomena ini menggambarkan betapa besar tantangan yang dihadapi demokrasi Indonesia yang idealnya berdiri kokoh di atas kedaulatan rakyat, bukan transaksi material yang melibatkan uang dalam menentukan pilihan politik.Di beberapa daerah, politik uang berlangsung dengan masif dan sistematis.
Di Kabupaten Bulukumba, misalnya, Kecamatan Bulukumpa dan Bontotiro dilaporkan menjadi lokasi utama praktik politik uang. Amplop berisi uang yang didistribusikan kepada pemilih dengan nilai yang bervariasi mulai dari Rp50.000 hingga Rp200.000 menjadi salah satu cara yang digunakan untuk mempengaruhi pilihan politik warga.
Fenomena ini mencerminkan betapa praktik politik uang telah merusak integritas dan kepercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi.
Kejadian serupa juga terungkap di Pekalongan, Jawa Tengah, di mana aparat keamanan menyita uang ratusan juta rupiah yang diduga akan digunakan untuk politik uang. Hal ini menunjukkan bahwa praktik kotor ini tidak hanya terbatas di pedesaan, tetapi juga merambah ke wilayah perkotaan yang lebih terorganisir.
Di Papua Pegunungan, yang dikenal dengan keterbatasan infrastruktur dan pengawasan, selain uang tunai, barang-barang kebutuhan pokok juga digunakan untuk memengaruhi pilihan politik masyarakat. Ini menggambarkan betapa luasnya jangkauan praktik politik uang, bahkan di wilayah yang jauh dari pusat pemerintahan.
Di Sulawesi Selatan, laporan dari Luwu Timur mengungkapkan penemuan amplop berisi uang yang akan dibagikan kepada pemilih pada dini hari sebelum pencoblosan. Praktik serupa juga ditemukan di Lubuklinggau, Sumatra Selatan, yang semakin mengkonfirmasi bahwa politik uang sudah menjadi modus yang hampir merata di seluruh daerah Indonesia.
Selain itu, di Lombok Tengah, teknologi komunikasi digunakan untuk menyebarkan informasi mengenai pemberian uang atau barang sebagai imbalan bagi pemilih yang mendukung calon tertentu. Fenomena ini menandakan bahwa praktik politik uang telah berevolusi mengikuti perkembangan teknologi dan semakin sulit untuk diawasi.
Dari Sleman, Yogyakarta, juga muncul laporan dugaan politik uang meski dalam skala yang lebih kecil. Meski jumlahnya tidak sebesar di beberapa wilayah lainnya, kejadian ini tetap menunjukkan bahwa politik uang merupakan ancaman serius terhadap demokrasi Indonesia.
Dari Sabang hingga Merauke, hampir setiap daerah tercatat terlibat dalam praktik ini, dan meskipun upaya pengawasan terus dilakukan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), fenomena ini seakan sulit diberantas.
Praktik politik uang dalam Pilkada 2024 bukanlah fenomena yang terbatas pada beberapa daerah saja seperti yang telah disebutkan di atas, hampir dapat dipastikan bahwa praktik ini telah menyebar ke hampir seluruh pelosok negeri. Di hampir setiap daerah, baik yang terletak di perkotaan maupun pedesaan, politik uang semakin menjadi modus yang sulit dikendalikan.
Berdasarkan laporan-laporan yang masuk ke Bawaslu di hari pemungutan suara ini dan di media sosial yang berseliweran, tidak hanya amplop berisi uang yang digunakan untuk mempengaruhi pemilih, tetapi juga barang-barang kebutuhan pokok dan bahkan janji-janji kesejahteraan.
Hal ini mengindikasikan bahwa para kandidat yang terlibat dalam politik uang semakin kreatif dan beragam dalam strategi mereka, dengan memanfaatkan berbagai cara untuk menarik simpati pemilih. Yang lebih mengkhawatirkan adalah bahwa praktik ini melibatkan berbagai lapisan masyarakat, dari tokoh lokal hingga aparat pemerintahan, yang turut andil dalam membiarkan atau bahkan mendukung praktik tersebut.
Lebih dari sekadar praktik yang mencederai nilai-nilai demokrasi, politik uang juga dipengaruhi oleh kekuatan oligarki yang semakin menguat di Indonesia. Salah satu contoh konkret adalah dukungan kuat yang diberikan oleh mantan Presiden Jokowi terhadap puluhan calon kepala daerah di berbagai wilayah.
Ini semakin diperparah dengan keberpihakan yang terlihat dari penjabat (PJ) di beberapa daerah, yang diduga telah diatur sejak awal, bahkan ketika Jokowi masih menjabat sebagai presiden.
Kuat dugaan bahwa pengaturan ini puncaknya terjadi ketika calon presiden yang akan dilantik dipanggil oleh Jokowi ke Solo, dan di sana sudah berkumpul para oligarki besar yang memiliki pengaruh kuat dalam menentukan arah politik dan keputusan-keputusan strategis, termasuk komposisi menteri dan calon-calon kepala daerah yang harus mereka dukung.
Keberadaan oligarki dan dukungan yang mereka berikan kepada calon kepala daerah, didorong oleh kekuasaan yang ada, memperburuk kondisi demokrasi di Indonesia. Para oligarki ini sering kali memanfaatkan jaringan mereka untuk mengendalikan proses politik, memanipulasi pemilu, dan memastikan bahwa calon-calon yang didukung mereka dapat terpilih.
Di wilayah dengan jaringan oligarki yang kuat, seperti di Sulawesi Selatan dan Jawa Tengah, politik uang menjadi senjata utama bagi kandidat untuk memenangkan pemilu, tanpa mengindahkan nilai-nilai etika dan moralitas.
Jika fenomena politik uang ini terus dibiarkan, maka masa depan demokrasi Indonesia akan terancam. Demokrasi yang seharusnya menjadi sarana untuk menegakkan kedaulatan rakyat, justru akan tergantikan oleh transaksi material yang mengutamakan kepentingan segelintir pihak.
Oleh karena itu, penting bagi Bawaslu dan aparat penegak hukum untuk meningkatkan pengawasan dan penindakan terhadap praktik politik uang ini, baik di tingkat lokal maupun yang melibatkan aktor-aktor besar di balik layar.
Pemilu 2024 seharusnya menjadi momen bersejarah yang menentukan arah bangsa, namun jika politik uang terus merajalela, maka perjalanan menuju demokrasi yang sehat akan semakin sulit. Dibutuhkan upaya kolektif dari seluruh elemen masyarakat, pemerintah, dan lembaga terkait untuk menjaga integritas pemilu demi tercapainya masa depan Indonesia yang lebih baik. (*)