SuarA: Nurul Ilmi Idrus
Berdasarkan Peraturan KPU (PKPU) No. 2/2024 tentang Tahapan dan Jadwal Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota Tahun 2024, maka masa kampanye adalah antara tanggal 25 September 2024 dan 23 November 2024, sehingga ada jeda waktu tiga sebelum hari pemungutan suara yang akan berlangsung pada 27 November 2024 besok.
Jeda tiga hari itu merupakan jadwal “masa tenang” Pilkada 2024, sebagaimana diatur dalam PKPU No. 13/2024 tentang Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota. Dengan demikian, sejak 23 November 2024 hingga 26 November 2024 merupakan jadwal “masa tenang.”
Selama “masa tenang,” diantara yang dilarang dilakukan adalah berkampanye dalam bentuk apapun dan media tidak menyiarkan berita, iklan (paslon dan partai politik). Sebaliknya, yang dapat dilakukan pada “masa tenang” di antaranya adalah menurunkan semua alat peraga kampanye; melapor ke Bawaslu jika ditemukan dugaan pelanggaran pada masa tenang. Pelanggaran atasnya akan dikenakan sanksi, sebagaimana diatur dalam UU No. 7/2017.
Apakah para pasangan calon (paslon) dan Tim Sukses-nya tenang selama “masa tenang”? Sepertinya tidak. Namun apa yang potensial membuat mereka tidak tenang? Ketidaktenangan sebenarnya telah berlangsung jauh sebelum “masa tenang,” tapi “masa tenang” justru merupakan waktu yang paling tidak tenang. Ini karena waktu Pilkada semakin dekat, sementara mereka berupaya untuk menjaga pemilih agar “tidak pindah ke lain hati.”
Lalu, siapa yang akan dipilih dari sekian banyak paslon? Para paslon telah berkampanye dan menunjukkan potensinya dalam Debat Publik yang dilakukan paling banyak tiga kali secara head-to-head, kecuali bagi paslon tunggal yang melawan kotak kosong (koko) karena Debat Publik hanya berlangsung sekali dan paslon tunggal berhadapan dengan panelis dalam Debat Publik tersebut. Rekam jejak, debat publik, dan etika pasangan yang seharusnya menjadi dasar pertimbangan bagi pemilih untuk memilih paslon, tapi hal itu meski penting, tidak menjadi pertimbangan utama. Lalu, bagaimana pemilih menentukan pilihan?
Jika merujuk pada PKPU No. 7/2017, maka ada tiga jenis pemilih, yakni pemilih tetap, pemilih tambahan, dan pemilih khusus. Namun, siapa sesungguhnya mereka? Ada pemilih fanatik (fanatical voters) yang tak tergoyahkan apapun godaannya karena pemilih memiliki hubungan emosional dengan paslon pilihannya. Ada pemilih yang berayun-ayun (swing voters) dari satu pilihan ke pilihan lain, meski sudah ada bayangan yang akan dipilihnya. Ada pula pemilih yang belum memutuskan pilihannya (undecided voters), bahkan belum memiliki bayangan siapa yang akan dipilihnya. Baik swing voters, maupun undecided voters seringkali menjadi target persuasi para paslon. Ada pemilih yang loyal terhadap partai politik tertentu (party-base voters), dan siapapun calon yang diusung tidak berpengaruh atas pilihannya. Namun, ada pula pemilih yang mendasari pilihan mereka pada pemberian uang (money-base voters), dan ini yang paling common terjadi di Indonesia. Tidak mengherankan jika Pilkada berbiaya mahal karena pemilih mendasari pilihan mereka pada apa yang dapat diperoleh secara instan, “ada uang ada suara.” Tidak mengherankan juga jika paslon petahana berpotensi menyalahgunakan kekuasaan, seperti yang terjadi pada paslon petahana Gubernur Bengkulu yang terjaring OTT di “masa tenang.”
“Masa tenang” justru saat dimana Tim Sukses sibuk mengisi amplop untuk dibagikan kepada pemilih dalam gerakan “serangan fajar.” “Masa tenang” justru grasa-grusu, jauh dari ketenangan.
But, make the right choice, not because of money!