English English Indonesian Indonesian
oleh

Kebudayaan Terabaikan dalam Pilkada

Pada Orde Baru, kebudayaan diarahkan harus bisa menghasilkan uang. Kebijakan rezim Sohearto cenderung kapitalis kala itu. “32 tahun itu kita dibentuk menjadi kapitalis. Nafsi-nafsi. Kita menilai seseorang berdasarkan apa untungnya secara finansial,” katanya.

Dengan demikian, proses kebudayaan tidak ada lagi dalam ruang politik. Pesta lima tahunan alias pilkada, mestinya jadi pendidikan politik bagi maysrakat, namun yang terjadi adalah pembodohan. “Sudah waktunya kita berubah,” sambung pendiri Institut Kesenian Makassar (IKM) itu.

Setelah reformasi, tekanan ekonomi dan politik coba diimbangi. Sayang, kebudayaan tidak “seksi” dijual, sehingga lagi-lagi kebudayaan tidak mendapat porsi setara. Padahal, untuk satu proses kebudayaan butuh 25 tahun baru bisa menampakkan hasil.

Proses kebudayaan tidak bisa dilihat hasilnya hanya dengan satu atau dua periode masa jabatan. Masalah lainnya, di level lokal, kebudayaan hanya dimaknai sekadar baju adat dan menulis ulang kata-kata bijak daerah.

“Berapa masjid dibangun, berapa orang dihajikan, tapi nilai-nilai dasar kebudayaan itu tidak ada,” papar Halilintar.

Ada empat nilai paling dasar kebudayaan Sulsel. Masing-masing lempu (jujur), warani (berani), macca (pintar), dan sugi (kekayaan). Ini yang harus ditanamkan kepada generasi, termasuk kepada kadidat akan menerapkan itu kepada masyarakat yang dipimpinnya. (zuk)

News Feed