MAKASSAR, FAJAR–Kebudayaan mendapat ruang sempit dalam Pilkada 2024. Bahkan politik memiliki asosiasi negatif di kalangan warga Sulsel pada masa lalu.
Dalam arena kebangsaan, tiga sektor utama mestinya berjalan seimbang: politik, ekonomi, dan budaya. Sayang, budaya tak pernah mendapat tempat setara. Sebaliknya, politik dan ekonomi bergantian mendominasi.
“Dulu itu citra politik jelek. Ada istilah ‘dipolitiki’, itu artinya dibodohi atau ditipu. Jadi politik itu membodohi,” kata Prof Halilintar Lathief, Pendiri Pusat Penelitian Budaya dan Seni Etnik (P2BSE) Sulawesi pada diskusi pilkada di adAJI Kopi, Jl Toddopuli, Makassar, Minggu (24/11/2024).
Halilintar lalu mengurai pergulatan politik, ekonomi, dan budaya sejak masa kemerdekaan hingga kini. Pada masa Orde Lama di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno, politik mendominasi kebijakan ketimbang ekonomi dan kebudayaan. Politik menjadi panglima pada era itu.
Memang kala itu, ada adigium “memajukan kebudayaan nasional”. Budaya-budaya mercusuar (puncak) di daerah-daerah dimasukkan di itu. Hanya saja, ini menghambat budaya-budaya yang tak masuk dalam kategori puncak.
Lalu, pada masa Orde Baru yang dipelopori Seoharto, sebaliknya yang terjadi. Selama 32 tahun, kebijakan ekonomi lebih dominan ketimbang politik dan kebudayaan. Bahkan, kebudayaan mendapat perhatian paling buncit.
“Ada tiga hal dalam poses sosial: proses politik, proses ekonomi, dan proses budaya. Ini harus seimbang. Jika salah satu saja menonjol, yang lain pincang,” urai guru besar Universitas Negeri Makassar (UNM) itu.