Awalnya, Elsa prihatin dengan banyak eceng gondok yang tumbuh subur di sungai dan rawa. Ia lalu berinisatif agar tanaman itu tidak berakhir sia-sia menjadi sampah dan membuat pendangkalan di rawa.
EDWARD ADE SAPUTRA
Kecamatan Biringkanaya
Di tepian rawa yang tenang di Kecamatan Biringkanaya, Makassar, aroma lembap khas rawa bercampur dengan wangi pelepah eceng gondok yang baru dijemur. Di sebuah galeri kecil bernama Anyamandiri, sinar matahari sore menerpa rak-rak yang penuh dengan hasil kerajinan tangan: tas, tikar, keranjang, dan berbagai produk lainnya. Barang-barang itu tak hanya cantik, tapi juga memancarkan kisah panjang penuh perjuangan seorang wanita bernama Elsa.
Elsa tidak pernah membayangkan bahwa hidupnya akan berubah sedemikian rupa karena tanaman yang dahulu ia pandang dengan rasa prihatin. Eceng gondok, yang sering dianggap limbah tak berguna, kini menjadi sumber harapan baginya dan banyak ibu rumah tangga di sekitaran rumahnya.
Tahun 2015 menjadi titik awal perjalanan Elsa. Saat itu, ia adalah seorang ibu rumah tangga yang mencari nafkah sebagai penjual sayur. Kehidupannya sederhana, tapi ada sesuatu yang selalu mengusik hatinya.
Setiap kali ia melewati rawa-rawa di desanya, pemandangan yang sama selalu menyapanya. Eceng gondok tumbuh liar, menutupi permukaan air seperti karpet hijau yang tebal. Bagi banyak orang, itu hanyalah tanaman liar. Tapi bagi Elsa, tanaman itu adalah simbol dari sesuatu yang lebih besar: potensi yang tak tersentuh.
“Kenapa dibiarkan begitu saja? Bukankah ini bisa dimanfaatkan?,” gumam Elsa suatu hari sambil memandangi rawa. Namun, gagasan itu hanya tertinggal sebagai renungan, sebab ia tidak tahu harus memulai dari mana.