Hingga suatu hari, Elsa mendengar kabar tentang pelatihan pemanfaatan eceng gondok yang diadakan oleh Pemkot Makassar. Pelatihan itu bertujuan untuk memberdayakan masyarakat agar bisa mengolah tanaman tersebut menjadi barang bernilai jual. Elsa merasa ini adalah kesempatan emas.
Namun, kenyataan tidak semudah yang ia bayangkan. Namanya tidak masuk dalam daftar peserta resmi. Tapi Elsa tidak menyerah. Dengan penuh keyakinan, ia memohon kepada panitia agar diizinkan ikut.
“Saya tidak butuh fasilitas, saya hanya ingin ilmunya,” kenang Elsa, matanya berbinar penuh semangat.
Hari-hari pelatihan itu adalah pengalaman yang membekas dalam hati Elsa. Ia belajar bahwa pelepah eceng gondok, jika dikeringkan dan dianyam dengan teknik tertentu, bisa menjadi kerajinan tangan yang cantik dan bernilai tinggi. Tapi, apa yang tampak mudah di tangan pelatihnya ternyata sulit bagi Elsa.
Ketika ia mencoba menganyam untuk pertama kalinya, jemarinya kaku. Hasil anyamannya jauh dari sempurna. Ketika ia memberanikan diri membawa produk pertamanya ke pameran kecil di desanya, tanggapan yang ia terima sangat menyakitkan.
“Mereka bilang anyaman saya jelek, kasar, dan tidak rapi. Rasanya ingin berhenti saja,” ucap Elsa sambil mengingat masa-masa itu, suaranya bergetar.
Namun, di tengah keputusasaan, Elsa menemukan kekuatan. Setiap malam, setelah anak-anaknya tidur, ia duduk sendiri di ruang tamunya yang sederhana. Dengan diterangi lampu redup, Elsa terus berlatih menganyam. Jemarinya yang lecet tidak menghentikannya. Satu demi satu, hasil karyanya mulai membaik.