HARIAN.FAJAR.CO.ID, MAKASSAR–Kelompok perempuan rentan hanya bisa gigit jari. Keberpihakan kandidat terhadap perempuan pesisir, nelayan, tani, dan migran sangat minim.
Pada Pilgub Sulsel 2024, terdapat dua paslon yang maju. Masing-masing Cagub-Cawagub nomor urut 1 Moh Ramdhan Pomanto-Azhar Arsyad dan nomor urut 2 A Sudirman Sulaiman-Fatmawati Rusdi.
Tak terakomodasinya program spesifik kesejahteraan perempuan pesisir tergambar dalam visi dan misi para kadidat. Tak ada yang secara detail menyentil kepentingan kelompok perempuan rentan.
“Nyaris tidak ada yang menyampaikan situasi yang dialami perempuan pesisir,” ujar Musdalifah Jamal, Dewan Pengawas Serikat Perempuan (SP) Anging Mammiri, Senin (18/11/2024).
Aktivis pendamping perempuan pesisir ini tak tinggal diam. Visi-misi cagub-cawagub dikulitinya. Bersama SP Anging Mammiri, mereka pun melakukan tracking (menelusuri) rekam jejak pada kandidat, terutama kala menjadi pejabat sebelumnya.
Sebelum mencalonkan diri, Moh Ramdhan Pomanto (akrab disapa Danny Pomanto) merupakan Wali Kota Makassar dua periode. Pasangannya, Azhar Arsyad bahkan menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD Sulsel sekaligus Ketua DPW Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Sulsel.
Kemudian, A Sudirman Sulaiman pernah menjabat Gubernur Sulsel. Sebelum menjadi gubernur pengganti, dia merupakan wakil gubernur yang mendampingi Nurdin Abdullah sebagai Gubernur Sulsel. Kala Nurdin terjaring operasi tangkap tangan (OTT) KPK, Sudirman yang naik menggantikan posisinya.
Di posisi calon wakil gubernur pendamping Sudirman, Fatawati Rusdi merupakan anggota DPR RI terpilih dari Daerah Pemilihan (Dapil) Sulsel I. Belum melaksanakan tugas sebagai legislator Senayan, Nasdem memerintahkannya maju pada Pilgub Sulsel 2024.
Fatmawati juga sempat menjabat sebagai Wakil Wali Kota Makassar mendampingi Danny Pomanto. Namun, dia mengundurkan diri dengan alasan maju pada Pileg 2024. Dia mengisi kekosongan daftar caleg tetap (DCT) yang ditinggalkan Syahrul Yasin Limpo yang terseret kasus dugaan korupsi di Kementerian Pertanian (Kementan).
Hasilnya, jangankan keberpihakan, program untuk menaikkan taraf kehidupan perempuan pesisir pun tak ada dalam visi-misi paslon. “Keduanya buruk,” tegas Musdalifah.
Tak heran, pada dua kali debat kandidat publik cagub-cawagub Sulsel, tak ada paslon yang secara detail menjelaskan langkah dan kebijakan mereka terkait perempuan pesisir, kelak jika terpilih. Debat mereka terlalu umum dan cenderung terbelenggu program masa lalu kala masing-masing masih menjabat sebagai kepala daerah.
“Adu argumen mereka hanya terkait soal saat menjabat. Danny saat menjabat wali kota dan Sudirman saat menjabat gubernur. Tidak ada pembahasan terkait perempuan pesisir dan kelompok rentan lainnya,” sambung Koordinator Pendidikan Politik Perempuan SP Anging Mammiri itu.
Visi-misi kedua paslon juga dianggap tak memberikan solusi konkret atas permasalahan perempuan pesisir. Proyek-proyek reklamasi, ekonomi hijau-biru, bahkan pembangunan pelabuhan pun hanya menjadi program yang menguntungkan pengusaha dan pemerintah sendiri.
Perempuan pesisir hanya mendapatkan dampaknya. Area tangkapan ikan makin terdesak, rumpon hancur yang mengakibatkan perempuan nelayan makin kesulitan mendapatkan sumber ikan, dan limbah yang merusak lingkungan di kawasan pesisir.
Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) pun dianggap tak memberi kesejahteraan kepada perempuan pesisir. “Perda itu hanya legalitas bagi-bagi kawasan laut. Semua dibangun di atas kawasan kelola perempuan nelayan,” kata Musdalifah, mantan Ketua SP Anging Mammiri itu.
Perempuan pesisir juga kerap menghadapi kesulitan akses bantuan perikanan. Identitas mereka sebagai nelayan kadang tidak diakui. Yang dianggap nelayan adalah suami mereka.
“Padahal, siapa saja yang mengakses laut adalah nelayan. Dalam proyek MNP, mereka meminta ada wilayah yang tidak diganggu karena mengganggu rumpon atau kawasan perkembangbiakan ikan,” tandas Musdalifah.
Ifah, sapaannya, melihat kemiskinan yang mengakibatkan masalah perempuan. Jika perempuan pesisir dilibatkan secara aktif dan mendapat akses ekonomi setara, masalah ini setidaknya bisa mendapatkan alternatif solusi.
“Dua figur ini (cagub-cawagub) belum punya program yang berkaitan dengan isu-isu perempuan rentan, khususnya pesisir, nelayan, petani, dan pekerja migran,” imbuh Musdalifah.
Proyek-proyek mercusuar pesisir juga membawa efek kontraproduktif terhadap mereka. Belum lagi dampak terhadap kelompok rentan lainnya. Kebijakan kerap dibuat sepihak dan merugikan.
Pemprov Sulsel bahkan pernah mengeluarkan surat edaran yang membatasi ruang gerak mereka, terutama kelompok LGBTQ. Padahal, sebagai warga negara, hak-hak mereka dilindungi.
Pada kepemimpinan Danny Pomanto sebagai wali kota, program yang dibuat terkesan pragmatis. Proyek lorong garden yang dianggap adaptasi lingkungan pun bermasalah karena perempuan hanya dijadikan target program.
Pemkot hanya menyediakan pot dan bibit, namun tidak ada pendampingan setelahnya. Perempuan lorong tidak dilibatkan sebagai subjek pengambil kebijakan, melainkan pasif menerima program. “Tidak ada program jangka panjang (untuk perempuan lorong),” tambahnya.
Di sisi Sudirman, pada masa kepemimpinannya, pembangunan infrastruktur banyak menyasar potensi sumber daya alam (SDA). “Mereka identifikasi SDA di suatu kawasan atau daerah. Kalau ada potensi, barulah memperbaiki jalan. Jadi pembangunan infrastruktur, bukan berbasis kebutuhan masyarakat,” tegas Musdalifah.
“Untuk konteks ‘berakarakter’ dari Andalan-Hati, kami cenderung melihat Andalan-Hati tertutup dengan isu-isu minoritas. Juga tertutup dengan isu-isu perempuan dan berkarakter fundamentalis,” sambungnya.
“Kalau kita terjemahkan visi misi kedua paslon sebenarnya hanya soal investasi saja”.
“Kita berharap siapa pun yang terpilih bisa menjalankan agenda keberpihakan terhadap perempuan,” harap Musdalifah.
Program Global
Pada Debat Publik Kedua Pilgub Sulsel di Hotel Claro, Makassar, Minggu (10/11/2024), dua pasangan cagub-cawagub tampil dengan memaparkan secara umum program mereka ketika terpilih. Pemaparan mereka terpantau masih banyak terpampang di media sosial, terutama di Youtube dan Facebook.
Paslon nomor urut 1 Moh Ramdhan Pomanto-Azhar Arsyad menakankan pada pembangunan infrastruktur yang baik. Pengeloaan sumber daya alam (SDA) juga mesti menyesuaikan tata ruang, sehingga terjadi pemerataan di semua daerah.
“Kami, DIA, membangun Sulsawesi Selatan dengan sembilan anatomi,” katanya. Dia lalu menjabarkan bentang pesisir dari seluruh daerah yang memiliki garis pantai. Sehingga pada akhirnya terkumpul sembilan kawasan berikat pesisir.
Sementara itu, pasangan nomor urut 2 Andi Sudirman Sulaiman-Fatmawati Rusdi menagatakan pemanfaatan sumber daya alam senantiasa menerapkan ekonomi hijau dan ekonomi biru untuk keberlanjutan masa depan anak cucu kita.
“Membangun jalan-jalan yang dibutuhkan oleh masyarakat,” kata Fatmawati.
“Pada prinsipnya bahwa pembangunan infrastruktur yang kami lakukan adalah bagaimana terbagi merata,” sambungnya.
Dia juga bercita-cita membangun infrastruktur secara digital. Untuk hal ini, tidak diperinci langsung dalam debat itu. Sektor UMKM juga jadi atensi. “UMKM adalah tulang punggung peningkatan perekonomian,” kata Fatmawati.
Dia berjanji akan meningkatkan UMKM masyarakat menjadi dua kali lipat menjadi 3,6 juta. Pengembangan ekonomi masyarakat pedesaan akan dimulai dengan pembenahan infrastruktur.
Kelompok Rentan
Isu kelompok rentan ini menjadi atensi Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Di Sulsel, sejumlah training jurnalis terkait cek fakta dan edukasi antihoaks digelar untuk memperkuat kapasitas jurnalis. Terutama mengantisipasi misinformasi terkait pilkada.
“Urgensi kegiatan ini adalah adanya kerentanan kelompok marginal terhadap ujaran kebencian akibat disinformasi yang kerap disebarkan menjelang pemilu atau pilkada,” kata Novi, Program Coordinator Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.
Menurutnya, penyebaran berita atau narasi-narasi yang salah ini, tidak hanya dapat mengancam keselamatan kelompok marginal melainkan, namun juga dapat mencegah mereka dalam mendapatkan hak-hak.
“Sulawesi Selatan dipertimbangkan karena berdasarkan indeks kota toleran yang dikembangkan Setara Institute, Makassar menjadi salah satu kota yang mendapatkan skor terendah,” sambung Novi.
Hal ini juga tercermin dari beberapa kasus-kasus intoleransi yang muncul belakangan di Sulsel, terutama terhadap kelompok minoritas gender dan seksual. Kelompok rentan masih kerap mendapatkan perundungan hingga persekusi.
“Dengan mengadakan pelatihan ini, kami berharap teman-teman jurnalis khususnya di Sulawesi Selatan dapat memiliki pemahaman yang mendalam terkait kerentanan dan risiko yang dialami oleh kelompok marginal atas pemberitaan yang menyesatkan terhadap kelompok mereka,” paparnya.
Dengan demikian, jurnalis diharapkan dapat membuat narasi tandingan berdasarkan fakta yang langsung disampaikan oleh kelompok rentan ini. Selain itu, melalui program ini pihaknya berharap ruang mengemukakan pendapat bagi kelompok marginal dapat terbuka agar publik juga bisa mendapatkan informasi yang utuh terkait bereka.
“Terakhir, secara umum kami berharap voter/pemilih dapat terinformasi mengenai rekam jejak para calon pemimpin mereka ketika menangani isu kelompok marginal,” tutupnya. (*)