HARIAN.FAJAR.CO.ID, MAKASSAR–Kelompok disabilitas nyaris tak tersentuh dalam visi misi calon gubernur-wakil gubernur Sulsel. Padahal, jumlahnya mereka sangat signifikan.
Dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), difabel yang memiliki hak suara pada Pilgub Sulsel 2024 berjumlah 46.342 orang. Sebanyak 3.258 pemilih di antaranya, berada di Kota Makassar.
“Pada Pilgub ini, bagi kami bak membeli kucing dalam karung,” ujar Hamzah M Yamin, salah seorang aktivis disabilitas netra Sulsel, Selasa (19/11/2024).
Visi misi pasangan calon (paslon) tidak sampai kepada kelompok disabilitas. Bahkan mereka yang punya akses terhadap visi misi mereka, tak menemukan program spesifik untuk disabilitas, kecuali hanya disebut sekali dan selintas dalam debat publik.
“Pada debat pertama, ada membahas kesejahteraan. Ada paslon yang menyebut program kesejahteraan untuk pemuda dan disabilitas, namun itu tidak ada penjelasannya,” sambung Hamzah yang juga pengurus Perhimpunan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Sulsel kurun 2012-2024 itu.
Lantaran cagub-cawagub dianggap tak begitu serius membuat program, banyak difabel yang akhirnya bersikap cuek. Keterlibatan mereka sangat minim karena merasa diabaikan. Belum lagi, proses demokrasi hanya memberi mereka ruang pinggir, sehingga sebagian memilih apolitis.
Penyandang disabilitas tidak punya keingintahuan yang besar untuk mendalami visi dan misi cagub-cawagub karena siklus kekuasaan dianggap hannya sirkulasi formalitas saja. Minat mereka terlibat secara langsung makin mengecil lantaran jarang dilibatkan secara subtantif dalam proses pengambilan kebijakan.
“Jadi nanti teman-teman difabel dalam memilih, hanya mendengar dari orang-orang. Ditambah latar belakang pendidikan sebagian yang masih rendah,” beber alumni Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Universitas Negeri Makassar (UNM) ini.
Demikian halnya partai-partai pengusung Cagub-Cawagub Sulsel, mereka tak benar-benar melakukan edukasi politik bagi disabilitas. Termasuk tak menjadi corong visi-misi kandidat yang mereka usung kepada kelompok difabel.
“Partai-partai juga tidak pernah menyebut detail dalam visi-misi mengenai disabilitas,” urai alumnus SMAN 6 Makassar itu.
Pada Pilgub Sulsel 2024, kelompok disabilitas juga pada dasarnya tak meminta muluk-muluk kepada para kandidat. Apalagi, sampai membuat kontrak politik, langkah itu tak mereka lakukan. Sebab, permintaan mereka hanya sederhana.
“(Mereka cukup berjanji kalau terpilih) menjalankan Perda Disabilitas yang sudah disahkan,” tegas Hamzah.
Setengah Hati
Dalam menjalankan sosialisasi, penyelanggara pilkada, dalam hal ini KPU, juga cenderung hanya memanggil satu atau dua perwakilan disabilitas. Padahal, terdapat begitu banyak organisiasi disablitas. Ada Pertuni, HWDI, Perhimpunan Penyandang Kusta, dll.
“Pembicara (tentang pilkada) lebih banyak akademisi, tapi mereka bukan difabel. Itu tidak mewakili disabilitas,” kata Hamzah.
Belum lagi saat mengundang disabilitas dalam sosialiasi pilkada, KPU hanya melibatkan beberapa orang difabel yang tidak mewakili semua kelompok disabilitas. Misalnya, disabilitas rungu, yang sangat jarang ada perwakilan.
“Saya mendorong disabilitas rungu tampil sendiri tanpa diwakili oleh disabilitas lain,” pintanya.
Dengan kondisi itu, KPU terkesan tidak menjadikan concern terhadap kelompok disabilitas, kecuali hanya memenuhi syarat formalitas pelibatan sesuai amanat regulasi. Padahal jumlah mereka banyak sekali. Secara nasional di atas angka 50 ribu orang lebih. Di Sulsel, angkanya di atas 46 ribu pemilih.
Hamzah justru membandingkan Pilgub Sulsel 2007 dan 2024. Terjadi ketimpangan besar terkait pelibatan dan aksesibilitas terhadap disabilitas. Pada 2007, Ketua KPU Sulsel saat itu, Mappinawang, dianggap sangat mengerti kebutuhan kelompok disabilitas.
“12 ribu lebih TPS dibangun dan dilengkapi template. Template itu semacam panduan bagi disabilitas netra. Surat suara dimasukkan di dalam sebuah map. Di map itu ada lubang pas di wajah paslon. Ada juga surat suara yang dilengkapi nomor braile dan angka timbul,” terangnya.
Yang terjadi saat ini justru jauh berbeda. “Belakangan, meski KPU didukung banyak regulasi, malah mundur,” sambungnya.
Padahal, surat suara berbentuk template atau pola, diperlukan oleh difabel, khususnya disabilitas netra. Dengan mengandalkan cara saat ini, prinsip kerahasiaan pilihan tidak akan terwujud. Sebab, disabilitas netra akan didampingi oleh orang tertentu didampingi. Hal ini sangat potensial dimanfaatkan, sehingga pilihan mereka rawan diganti atau ketahuan.
“Pilgub ini momen mencapai prinsip kerahasiaan itu karena cuma ada dua paslon. Buatkan paslon template agar disabilitas bisa memilijh secara mandiri,” saran Hamzah.
Apalagi, tuntutannya itu ada dalam PKPU 2017. Demikian halnya akses khusus bagi disabilitas fisik, terutama yang menggunakan kursi roda. Mestinya ada jalur khusus untuk itu di TPS yang memiliki DPT dari kalangan disabilitas.
Di sisi akomodasi dan infrastruktur terhadap disabilitas, juga dianggap belum maju. Memang, sudah ada Komisi Daerah Disabilitas yang terbentuk, namun lembaga itu tidak jalan karena tidak diberi anggaran.
Untuk ruang adil di pemerintahan, Pemprov Sulsel pernah mengangkat 12 tenaga non ASN pada 2022. Hanya saja, upaya itu baru sampai di situ. Di sektor swasta, masih sangat jarang kuota lowongan untuk disabilitas. Bahkan di pemerintahan pun sangat terbatas.
“Belum lagi yang lain-lain. Transportasi, misalnya. Belum ada transportasi publik yang ramah bagi disabilitas. Ojol yang ramah, malah mahal,” keluhnya.
Trotoar yang dibangun pemerintah juga belum aman dan nyaman. Dengan demikian, diskriminasi layanan publik masih terjadi. Padahal, pedestrian yang inklusif juga akan mendorong pariwisata ramah di suatu daerah.
Visi-Misi Cagub
Dalam debat kandidat Cagub-Cawagub Sulsel sesi II di Hotel Claro, Makassar, Minggu (10/11/2024), paslon nomor urut 1 Moh Ramdhan Pomanto-Azhar Arsyad (DIA) dan nomor urut 2 Andi Sudirman Sulaiman-Fatmawati Rusdi (Andalan Hati) juga sempat menyentil ihwal pariwisata ini.
DIA, melalui Danny Pomanto mengatakan, infrastruktur penting untuk membangun pariwisata. Bersamaan dengan itu Sulsel yang memiliki cerita sejarah peradaban yang besar, termasuk penemuan manusia tertua di Maros, bisa menjadi jualan pariwisata hijau.
“Peradaban seperti ini tidak dimiliki negara mana pun di seluruh dunia,” kata Danny Pomanto.
Dia juga menjanjikan akan membuat jalan tol di pesisir dan akses linta daerah. Potensi sejumlah gunung besar juga akan digali untuk menjadi jualan pariwisata. Sayang, dalam pemaparan itu, tidak spesifik membahas tentang disabilitas.
Sementara itu, Sudirman Sulaiman juga tak menyebut program spesifik mengenai disabilitas. “Fokus utama kami adalah melanjutkan pembangunan yang telah kami letakkkan fondasi selama kami menjadi gubernur dan juga periode-periode sebelumnya,” katanya.
Dengan demikian, perlu ada langkah untuk meyakinkan kandidat untuk lebih peduli terhadap kelompok disabilitas. Minimal berkomitmen –sebagaimana permintaan kelompok difabel– menjalankan Perda Disabilitas. Sekaligus mendorong perda serupa dibuat di beberapa daerah yang belum memilikinya. (*)