Oleh: Nasrullah
Alumni Fakultas Sastra Unhas
Belum hilang ingatan tentang professor kangkong (Made Supriatma, 2024), dan Doktor instan oleh seorang Menteri di Universitas Indonesia (Kompas, 2024; Narasi, 2024), dunia pendidikan tinggi Indonesia kembali diterpa peristiwa mengerikan: Kejahatan Seksual. Baru saja Menteri Pendidikan Tinggi mencanangkan perubahan “imej” Perguruan Tinggi di Indonesia ke arah inklusif, namun, bak cendawan di musim hujan, seperti fenomena gunung es, kejahatan seksual di Universitas malah menyeruak di permukaan. Selama ini, seperti ada usaha untuk mengendapkannya meski Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sudah membentuk Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) sejak 2021.
Tulisan ini bertujuan untuk menelaah kejahatan seksual yang terjadi di Universitas di Indonesia dalam hubungannya dengan bagaimana pihak kampus menghadapinya. Selain itu, akan dihadirkan masukan langkah – langkah untuk mengatasi masalah kejahatan seksual tersebut berikut pelecehan intelektual dalam menghadapi protes terhadap kejahatan seksual tersebut. Termasuk, protes terhadap perlakuan korban selama proses pemeriksaan dan ringannya sanksi yang dikenakan kepada pelaku.
Kejahatan seksual
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Hasanuddin (FIB Unhas) beberapa hari terakhir (sejak 19/11) tiba – tiba menjadi sorotan. Pasalnya, seorang dosen laki – laki berinisial FS dinyatakan bersalah oleh Satgas PPKS Unhas karena telah melakukan kekerasan seksual terhadap salah seorang mahasiswi bimbingannya. Investigasi dan pemeriksaan selama dua bulan sejak September 2024 memutuskan pelaku dengan inisial FS itu dinyatakan bersalah dan dikenakan sanksi skorsing selama dua semester. Hal tersebut oleh Satgas PPKS dan pimpinan (FIB Unhas) dinilai telah sesuai dengan aturan yang ada. Namun, Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, dalam aksi demonstrasi menyatakan tuntutannya agar pelaku dikeluarkan dari Unhas atau diberhentikan sebagai dosen.
Kelompangan antara tuntutan Mahasiswa FIB Unhas dengan sanksi yang ada menimbulkan aksi protes selama tiga hari (19-2/11). Akan tetapi, bukannya direspon secara demokratis yang diliputi semangat intelektualitas ala sivitas akademika, aksi tersebut justru didatangi satpam, polisi, bahkan tentara. Pertanyaan kemudian muncul, ada apa? Kenapa sampai begitu? Kenapa pihak Universitas dalam hal ini Dekanat FIB Unhas dan Rektorat Unhas, menjadikan aparat keamanan sebagai garda terdepan? Nasib baik kalau yang “dipasang” bukan satpam outsourcing dari luar yang berarti bukan warga Unhas, lalu diperhadapkan dengan Mahasiswa yang merupakan warga sivitas akademika Unhas. Praktik ini mirip aparat sewaan penjajah Belanda dan British di masa kolonial. Juga mirip tentara bayaran Israel di Palestina sekarang. Perilaku mendatangkan aparat dari luar untuk diperhadapkan dengan “pemilik rumah sendiri” adalah perilaku penjajah (kolonialisme), tak pantas ada di Perguruan Tinggi.
Pelecehan intelektual
Satpam yang biasanya memegang pentungan, kali ini dapat dilihat dalam beberapa rekaman video, malah memegang kamera telepon genggam seperti merekam Mahasiswa peserta aksi. Pertanyaannya, untuk apa itu dilakukan? Jika jawabannya adalah untuk mengidentifikasi para aktivis, lalu untuk apa identifikasi itu? Jika kita jawab lagi untuk mengintimidasi, nah, justru disitulah letak masalah baru. Karena, mengintimidasi mahasiswa yang tengah menyampaikan hak demokratisnya boleh dinilai sebagai bentuk “pelecehan intelektual”. Pelecehan intelektual ini, di saat bersamaan bersenyawa dan berkelindan dengan kejahatan seksual di atas.
Sungguh disayangkan, mengapa Fakultas Ilmu Budaya Unhas seperti melindungi perilaku salah satu dosennya yang melakukan kejahatan seksual dengan jalan “intimidasi” yang bisa dinilai sebagai pelecehan intelektual itu? Mengapa pula pihak pimpinan FIB Unhas dan Rektorat Unhas yang berisi para kaum terdidik bergelar Profesor dan Doktor, alergi dengan protes, demonstrasi, dan dinamika anak muda yang sedang “marah” karena salah satu rekannya dilanggar harga dirinya? Kenapa Fakultas Ilmu Budaya tidak menerapkan siri na pesse sebagaimana yang selalu diajarkan kepada Mahasiswa? Atau jangan – jangan siri na pesse tinggal jargon atau malah disalah pakai untuk kepentingan kekuasaan semata? Tentu kita mengharapkan tidak demikian.
Tapi, makin ke sini, makin meragukan integritas para pemimpin kampus saat ini memang. Buktinya, demonstrasi justru dihadapi dengan “gelagat” intimidasi. Sungguh bukan cerminan kultur masyarakat akademik yang mengedepankan dialog setara.
Momentum berbenah
Demonstrasi sebagai protes atas perilaku kekerasan seksual yang sedang marak di Universitas adalah sebuah dinamika demokrasi. Kampus sepatutnya menghormati proses intelektualitas seperti ini, bahkan sesungguhnya Universitas adalah tempat belajar dan bertumbuhnya laku demokratis tersebut. Bukan sebaliknya, apalagi kalau pakai satpam outsourcing laksana aparat swasta sewaan kaum penjajah kolonial.
Untuk mengatasi pelecehan intelektual yang sedang tumbuh bersamaan dengan kejahatan seksual di Universitas ini, perlu diadakan perubahan struktural dan sistemik. Peristiwa tragis hari ini di FIB Unhas, sepatutnya menjadi momentum perbaikan ke dalam bagi pemangku kepentingan — Dekanat dan Rektorat. Bukan malah menutup diri dari kritik, apalagi resisten terhadap koreksi dari luar. Kejadian kejahatan seksual oleh dosen sekaligus pejabat Fakultas itu perlu menjadi tamparan untuk membenahi setidaknya lima hal.
Pertama, rekrutmen dosen. Diperlukan perekrutan yang tidak sarat dengan nepotisme. Universitas perlu memberi ruang kepada alumni terbaik dan yang penuh dedikasi. Termasuk, tidak lagi menormalisasi cara perekrutan yang memasukkan sanak keluarga dan kerabat yang berkualitas minus apalagi bermental predator. Kalau tidak, hasilnya bisa berulang seperti kejadian di FIB Unhas sekarang. Dosen dengan tabiat predator bisa “lolos seleksi” di Universitas sekaliber Unhas. Pertanyaannya kemudian, kok bisa? Mekanisme seleksi rekrutmennya bagaimana?
Kedua, promosi pejabat dengan sistem merit (merit system). FIB Unhas dan kampus lainnya perlu menjalankan sistem merit dalam penempatan pejabatnya. Bukan atas kedekatan apalagi loyalitas tanpa kualitas dengan melanggengkan kultur “perkoncoan”. Jika masih begitu, bukan tidak mungkin pejabat seperti yang menimpa FIB Unhas sekarang bisa terulang. Bagaimanapun, power tend to corrupt, termasuk sexually corrupt alias jahat secara seksual. Kekuasaan yang diberikan pada bukan orang yang pantas bisa menjadi bumerang, malah merusak. Itu yang terjadi di FIB Unhas sekarang.
Ketiga, pengawasan terhadap dosen terutama para pejabat dalam menjalankan kinerjanya. Apa yang dilakukan dosen FS yang merupakan dosen sekaligus pejabat tersebut adalah bertemunya niat jahat dengan kesempatan. Ruangan tanpa CCTV dan pengawasan yang tidak cukup dengan membiarkan mahasiswi seorang diri di dalam ruangan dosen laki – laki merupakan faktor kesempatan yang bisa dimanfaatkan. Ke depan, selain CCTV di dalam ruangan dosen dan pejabat, aturan agar mahasiswa tidak datang sendiri di dalam ruang dosen perlu diterapkan.
Keempat, sanksi tegas bagi pelaku. Perilaku berulang, baik oleh pelaku yang sama maupun pelaku berbeda dari kejahatan seksual di kampus, salah satunya disebabkan oleh adanya pembiaran dan tidak adanya sanksi yang tegas. Olehnya, alih alih menunjukkan sikap resisten bahkan beraroma intimidatif kepada aktivis mahasiswa yang menuntut sanksi tegas berupa pemecatan kepada pelaku kejahatan seksual di kampus, sepatutnya hal ini perlu didukung oleh pimpinan dari jurusan, fakultas, hingga Universitas. Pecat saja para penjahat seksual di Universitas, ajukan ke pihak yang berwenang.
Kelima, kebebasan akademik dan kebebasan berserikat. Kampus perlu menjamin bahkan berperan aktif dalam membangun kebebasan akademik dan kebebasan berorganisasi bagi pekerja kampus dan mahasiswa. Tidak boleh ada sikap intimidatif dengan cara apapun kepada mereka yang menjalankan hak demokratisnya. Karena kampus yang sehat adalah kampus yang check and balances-nya berjalan. Sehingga, anasir – anasir negatif seperti tabiat penjahat seksual dapat diredam melalui mekanisme kontrol yang berimbang.
Selain mengatasi kejahatan seksual, kelima langkah di atas sekaligus menghindari laku pelecehan intelektual karena mengintimidasi para kaum intelektual yang sedang memperjuangkan keadilan di rumah sendiri. Unhas layak memikirkan jalan keluar dari lorong sumpek nan membusuk ini.
Taubat akademik
Ketimbang terkesan melindungi pelaku kejahatan seksual dan mempertontonkan pelecehan intelektual, jauh lebih baik kalau Universitas, termasuk FIB Unhas melakukan “taubat akademik”. Barangkali sudah semakin banyak dosa – dosa dan kejahatan akademik yang selama ini terpendam ataupun disembunyikan. Termasuk menelantarkan aktivis dan talenta – talenta terbaik adalah dosa besar sebuah Universitas. Terutama, tentunya, melukai calon ibu, bagi bangsa ini dengan mengoyak – ngoyak harga diri (siri’) – nya sebagai perempuan yang sepatutnya dihormati.
Pada akhirnya, bersiapkah Universitas kita melakukan “taubat akademik” dalam momentum berbenah ini? Kelima langkah di atas adalah jalan materilnya, sementara kesungguhan bertaubat adalah jalan ideologis-spiritual yang mesti dilakukan secara bersungguh – sungguh. Atau jangan – jangan, di lorong – lorong gelap kekuasaan, penguasa malah ingin tetap resisten menutup diri dengan melecehkan kaum intelektual di rumah sendiri, setelah terkesan “melindungi” penjahat seksual melalui “intimidasi” sistematis para demonstran?
Hendak ke mana Universitas kita?