MUHAMMAD RIDWAN
Ketua Divisi Demokrasi Pancasila, Institute Of Political And Social Study
Pertanyaan ini mungkin terus berkelindan di benak mereka yang masih tegak lurus membentengi nilai-nilai demokrasi, khususnya di Kabupaten Gowa. Fenomena yang terjadi dalam beberapa hari terakhir setidaknya memberikan gambaran bahwa demokrasi tidak sedang dalam kondisi baik-baik saja.
Baru-baru ini, Tim Hukum dari pasangan Cabup dan Cawabup kabupaten Gowa, yang dalam hal ini adalah pasangan Aura’Ma melaporkan tiga oknum camat, dua oknum anggota kepolisian dan beberapa oknum kepala desa di Bawaslu Gowa. Mereka diduga melakukan politik praktis dengan mendukung pasangan calon tertentu dalam Pilkada.
Oknum Camat sebagai bagian dari birokrasi, dan oknum polisi sebagai aparat penegak hukum, seharusnya menjadi pilar netralitas dalam pemilu. Namun, jika mereka terbukti mendukung pasangan tertentu, hal ini bukan hanya melanggar undang-undang, tetapi juga mencederai kepercayaan publik terhadap proses democrasi election yang akan dihelat pada November mendatang.
Dugaan keterlibatan oknum camat dan oknum polisi ini memperlihatkan pola yang mengkhawatirkan. Alih-alih menjalankan tugas melayani masyarakat tanpa keberpihakan, mereka justru tampak menggunakan posisi dan kewenangan mereka untuk mempengaruhi jalannya pemilihan. Tentu Ini menjadi preseden buruk bagi demokrasi loka kita, di mana seharusnya masyarakat diberikan kebebasan sepenuhnya untuk memilih tanpa ada tekanan dari aparatur negara. Ketika camat, yang memegang otoritas di tingkat kecamatan, terindikasi mendukung salah satu pasangan calon, independensi birokrasi pun dipertanyakan. Bagaimana mungkin proses pemilihan bisa berlangsung adil jika aparatur pemerintahan terlibat langsung dalam kontestasi politik? Yang lebih memprihatinkan adalah dugaan keterlibatan oknum anggota kepolisian. Polisi, sebagai aparat yang ditugaskan untuk menjaga keamanan dan ketertiban selama pemilu, seharusnya berdiri di atas semua golongan. Ketika ada indikasi mereka mendukung kandidat tertentu, masyarakat akan merasa terintimidasi, dan rasa keadilan pun hilang. Ini tidak hanya merusak citra kepolisian sebagai institusi yang netral, tetapi juga menciptakan ketakutan di kalangan pemilih yang mungkin merasa hak-hak mereka dibatasi.
Laporan yang diajukan oleh Tim Hukum pasangan Aurama harus menjadi sinyal bagi aparat penegak hukum dan seluruh penyelenggara pemilu untuk segera menindaklanjuti. Demokrasi yang sehat hanya bisa berjalan jika semua elemen, termasuk birokrasi dan aparat keamanan, menjalankan tugasnya sesuai dengan amanat konstitusi.
Demokrasi tidak boleh dirusak oleh permainan kekuasaan di balik layar yang melibatkan birokrasi dan aparat keamanan. Pemilu harus menjadi momen bagi masyarakat untuk memilih dengan bebas dan tanpa tekanan, bukan momen di mana kekuatan institusi negara digunakan untuk memenangkan segelintir elite. Jika ini dibiarkan, demokrasi di Gowa akan berubah menjadi demokrasi yang semu, atau mobokrasi ugal-ugalan, dan suara rakyat tak lagi berharga.
Jika penanganan kasus ini dilakukan secara asal-asalan atau terkesan membiarkan pelanggaran terjadi, maka masyarakat akan kehilangan kepercayaan terhadap sistem pemilu itu sendiri. Mereka mungkin berpikir bahwa suara mereka tidak lagi berarti, karena hasil pemilu sudah ditentukan oleh kekuatan-kekuatan di balik layar. Ini adalah ancaman nyata terhadap masa depan demokrasi, tidak hanya di Gowa, tetapi di seluruh Indonesia.
Joseph Schumpeter Dalam bukunya Capitalism, Socialism, and Democracy (1942), Schumpeter mengemukakan bahwa demokrasi adalah suatu mekanisme institusional untuk mencapai keputusan politik, di mana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan melalui perjuangan kompetitif untuk meraih suara rakyat. Namun, Schumpeter juga menekankan pentingnya netralitas lembaga negara dan kebebasan pemilih dalam menentukan pilihan politik mereka. Ketika birokrasi dan aparat keamanan, seperti camat dan polisi, terlibat dalam politik praktis, prinsip kompetisi bebas yang digariskan oleh Schumpeter pun terganggu. Keterlibatan mereka bukan hanya merusak esensi demokrasi prosedural, tetapi juga menimbulkan apa yang oleh Schumpeter disebut sebagai “tirani mayoritas”, di mana suara mayoritas yang diperoleh melalui pengaruh institusi negara menciptakan ketidakadilan bagi minoritas dan kelompok-kelompok yang tidak memiliki akses terhadap kekuasaan.
Lebih lanjut, Robert Dahl dalam bukunya Polyarchy (1971) juga memberikan perspektif penting terkait demokrasi. Dahl memperkenalkan konsep poliariki sebagai kondisi ideal di mana terdapat pluralitas kekuasaan, partisipasi luas dari masyarakat, serta adanya kompetisi yang adil dalam pemilu. Demokrasi yang sehat menurut Dahl harus memiliki elemen-elemen ini: kontrol masyarakat terhadap keputusan pemerintah, partisipasi yang efektif, serta keadilan dalam akses informasi. Ketika birokrasi dan aparat keamanan menggunakan pengaruh mereka untuk mendukung kandidat tertentu, demokrasi berubah dari poliariki menjadi oligarki, di mana kekuasaan hanya dimiliki oleh segelintir elite.
Dengan mengacu pada teori-teori tersebut, dapat disimpulkan bahwa keterlibatan oknum birokrasi dan aparat keamanan dalam politik praktis di Kabupaten Gowa tidak hanya melanggar prinsip-prinsip dasar demokrasi, tetapi juga menghambat terbentuknya poliariki yang inklusif dan adil. Ini juga menciptakan ketidaksetaraan dalam akses terhadap informasi dan peluang bagi para calon peserta pemilu, yang seharusnya memiliki kesempatan yang sama dalam meraih suara rakyat. (*)