English English Indonesian Indonesian
oleh

Sa’ra Pattanra: Suara Penanda Gunung dan Laut

Oleh: Muhammad Fadhly Kurniawan, M. Hum / Transkrip Tradisi Lisan Indonesia

Benteng Pannyua atau benteng Fort Rotterdam memiliki nilai historis dan jejak memori yang panjang terhadap bangsa Makassar. Di lokasi ini pula, pada tanggal 3-9 November warga Makassar disuguhi sebuah peristiwa estetika yang memoriable dengan hadirnya suatu event nasional Festival Komunitas Seni Media (FKSM). Kegiatan ini merupakan bagian dari program direktorat Perfilman, Musik, dan Media, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia yang bertujuan untuk mengembangkan praktik artistik berbasis media baru dan teknologi di Indonesia.

“Jelajah Jala” merupakan tema yang ditawarkan dalam event FKSM ini. Para seniman lokal Makassar maupun nasional merespon tema tersebut dengan membuktikan karya monumental. Berbagai bentuk karya telah dihasilkan pada kegiatan ini, di antaranya yaitu terdapat 24 karya seni media, pertunjukan silang media, diskusi publik, panggung senja, dan aktivasi komunitas. Hadirnya FKSM di kota Makassar ini sangat berdampak bagi penikmat artistik berbasis seni, teknologi, dan pengetahuan lokal.Mengutip Yudi Ahmad Tajuddin selaku direktur festival,

“Jala refers to the meaning of a new symbolizing maritime technology, communication networks, and folk tale “Sinrijala” that lives on in Makassar.

         Menyoal pengetahuan lokal, saya tertarik pada satu karya instalasi yang berada di Bastion Bacan, yaitu Sa’ra Pattanra yang berarti “Suara Penanda”, karya seniman asal Selayar bernama Misbahuddin Daeng Bilok. Meski saat ini berdomisili di Pacitan (Jawa Timur), dalam event FKSM ini Ia menghadirkan ingatan leluhurnya di Selayar dengan menghadirkan dua instrumen akustik berbasis pengetahuan lokal masyarakat agraris dan maritim, yaitu Dangngong dan Rentong.

Bertalian dengan judul karyanya, sempat saya tanyakan, mengapa memakai diksi “suara” bukan “bunyi”, Misbah mengatakan bahwa suara adalah representasi makhluk hidup, sedangkan bunyi dari benda mati, maka dari itu, karya ini didedikasikan kepada leluhur yang spiritnya tetap hidup dan kepada seluruh makhluk hidup yang mengapresiasi karyanya.    

Pada dasarnya, pengetahuan lokal terhadap “respon angin” telah dimiliki leluhur kita sejak dulu, sayangnya, jejaknya hari ini hampir tidak ditemukan lagi. Artinya,kebudayaan dan tradisi ini telah punah, dan punahnya suatu pengetahuan lokal adalah bencana. Olehnya itu, hadirnya event FKSM ini merupakan momen yang tepat untuk mewariskan pengetahuan lokal tersebut sehingga terjalinnya preservasi ilmu yang berkelanjutan.

Berdasarkan hasil diskusi bersama Misbah, karya Sa’ra Pattanra merupakan implementasi dari hasil riset yang dinamainya Wind Harp Project (WHP)sejak tahun 2006 hingga saat ini di beberapa pulau yang telah didatanginya. WHP tidak hanya sebatas bentuk riset lapangan saja, lebih jauh dari itu ialah melakukan suatu upaya aktivasi antar komunitas dalam satu daerah. Namun, dalam FKSM ini, bukan hanya satu daerah dan komunitas yang diaktivasinya, tetapi tiga daerah, di antaranya ialah Sanggar Seni Samboritta, Bili-bili, Kab. Gowa; kampus ISBI Sulsel (embrio ISI Surakarta), Kab.Takalar, dan lembaga riset Transkrip Tradisi Lisan Indonesia, Kota Makassar.

Sebelum melakukan eksperimen, Misbah memberikan pembekalan khusus atau sejenis workshop mengenai konteks dan ruang lingkup yang akan disajikan. Utamanya dalam hal bagaimana proses membuat kedua instrumen Dangngong dan Rentong. Workshop seni ini bukan hanya sekedar belajar mempraktikkan pembuatan dua instrumen suara, namun, kegiatan ini adalah suatu upaya mengaktivasi dua ruang seni menjadi ruang temu dan tentunya akan menjadi ruang rindu.Workshop dilaksanakan di dua tempat, pertama, yaitu pembuatan Dangngong di Sanggar Seni Samboritta Bili-bili, Kab. Gowa, dan kedua pembuatan Rentong di kampus ISBI Sulsel, Kab. Takalar.

Menurut tradisi lisan, dahulunya Dangngong dipasang dan dipasang di sekitar area sawah. Ketika angin bertiup kencang, Dangngong meresponnya sehingga menghasilkan suara bising. Produksi suara tersebut dihasilkan oleh pertemuan angin dengan daun lontar atau pita yang terpasang pada instrumen bambu. Suara yang dihasilkan tersebut berfungsi sebagai alat pengusir burung pemakan padi, dan hama lainnya. Di sisi lain, bagi orang laut, tentu mereka sangat dekat dengan angin. Suara angin menjadi penanda bagi mereka membaca alam, pun dalam menentukan nasib sumber penghidupan. Rentong berfungsi sebagai alat bantu penanda hadirnya ikan di sekitar pancing atau jala yang disebar nelayan di laut. Suara Rentong dihasilkan dari hempasan angin yang membunyikan piringan plat sehingga menjadi penanda bagi nelayan hadirnya ikan.Pengetahuan semacam ini hampir tidak dijumpai lagi di pesisir negeri kita. Olehnya itu, hadirnya Dangngong dan Rentongdalam FKSM ini merupakan upaya reinvented atau menghadirkan kembali ingatan lokal yang telah punah dan menjadi bahan pembelajaran akan kekayaan intelektual yang dimiliki bangsa kita.

Sebagai penutup, Misbah menegaskan bahwa ini adalah karya bersama, karya kolektif seluruh pihak yang terlibat. Pada proses ini diharapkan agar menumbuhkan kembali spirit Sumanga’, utamanya silaturahmi antar komunitas yang perlahan pudar di tengah realitas kita temui hari ini. Buktinya, pada pembukaan FKSM tanggal 3 dan tanggal 7 November, diadakan perform bersama memainkan instrumen Dangngong antar Sanggar Seni Samboritta dan mahasiswa ISBI Sulsel, pun turut serta beberapa penonton menyemarakkan dan merasakan langsung sensasi memainkan Dangngong. Dan lagi, benteng Pannyua menjadi saksi rekaman memori estetik di tanah Makassar.

Catatan singkat ini disajikan oleh lembaga riset Transkrip Tradisi Lisan Indonesia.

News Feed