Oleh: Nawir Kalling (Ketua Umum HMI Cabang Gowa Raya)
Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) ibarat sebuah pesta. Pesta yang diperuntukkan bagi rakyat, mulai dari panggung utama hingga segala bentuk pertunjukan dan hiburannya, semuanya untuk rakyat. Sejak awal persiapan, semua pihak sibuk memikirkan agar rakyat dapat merasakan kebebasan dan kesenangan dalam pesta tersebut. Namun, semuanya berubah saat tamu undangan mulai berdatangan. Seringkali, banyak tamu (yang juga berasal dari rakyat) keluar dari aturan yang telah ditetapkan. Mereka sering kali membuat kekacauan, bahkan terang-terangan dan berulang kali.
Pilkada serentak 2024 yang akan digelar pada 27 November mendatang, sebentar lagi akan memasuki masa tenang. Namun, masa tenang tersebut hanya menjadi narasi formalitas. Masa tenang yang idealnya berlangsung dengan baik justru tidak berjalan sebagaimana mestinya. Masa tenang sering dimanfaatkan oleh para kontestan Pilkada sebagai momen krusial untuk memenangkan pertarungan.
Analogi dan situasi di atas hanyalah sebagian kecil dari berbagai sumber kekacauan Pilkada yang terjadi. Ada banyak hal yang menurut saya belum mendapatkan perhatian serius dari elemen-elemen yang memiliki tugas pokok dan fungsi di wilayah kerjanya masing-masing. Beberapa sumber kekacauan Pilkada bisa kita uraikan untuk menjadi bahan analisis kita bersama, baik terhadap kondisi demokrasi maupun sebagai bentuk refleksi dalam menentukan pilihan politik pada Pilkada 27 November 2024 mendatang.
Netralitas ASN
Netralitas ASN secara jelas diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, serta Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023, dengan berbagai ketentuan dan sanksi yang dijelaskan di dalamnya.