Karya lain yang tak kalah menarik adalah “Ora Keliling Mencari Tuan,” yang menampilkan tujuh patung kepala “ora keliling” dari epos sastra Bugis, “I La Galigo.” Patung-patung ini dilengkapi dengan sensor gerak yang memungkinkan mereka mengikuti gerakan pengunjung. Karya ini mengajak penonton merenungkan peran “ora keliling” sebagai asisten setia dalam epos tersebut dan bagaimana sosok ini terus mencari tuan yang layak di era modern.
Arya, seorang mahasiswa Universitas Hasanuddin yang berkunjung ke festival ini, menyatakan bahwa festival ini bukan hanya sekadar pameran seni, tetapi juga wadah bagi para seniman untuk berkolaborasi.
“Karya-karya yang dipamerkan tidak hanya menunjukkan keindahan, tetapi juga menggugah pemikiran tentang sejarah, budaya, dan teknologi yang saling terkait dalam kehidupan masyarakat, khususnya di Makassar,” ujarnya.
Kiara, seorang mahasiswi Universitas Negeri Makassar, berkomentar tentang karya “Ora Keliling Mencari Tuan.” Ia merasa bahwa karya ini sangat interaktif. “Saya merasa terhubung dengan kisahnya, bagaimana sosok ini terus mencari tuan yang layak di era modern,” ungkapnya.
Mengenai instalasi “Hujan Khatulistiwa,” Kiara menambahkan, “Instalasi ini sangat memukau. Meski saya datang di siang hari sehingga tidak bisa melihat permainan cahaya dan suara, kata teman saya ini lebih bagus saat malam hari.”
Festival “Jelajah Jala,” yang digelar 3 – 9 November 2024 ini setiap hari ramai dikunjungi ribuan orang, menunjukkan bagaimana seni media dapat menjadi alat untuk menjelajahi, menafsirkan, dan berdialog dengan sejarah, budaya, dan teknologi. Festival ini juga menjadi wadah untuk mempertemukan seniman, komunitas, dan masyarakat, menciptakan ruang untuk berbagi pengetahuan, ide, dan pengalaman. (*/)