Festival Komunitas Seni Media (FKSM) 2024 yang diselenggarakan di Benteng Rotterdam, Makassar, menampilkan 24 karya seni media dengan tema “Jelajah Jala.” Tema ini merujuk pada eksplorasi ruang dan pengetahuan baru, serta eksperimen yang mengaitkan makna “jala” dengan sejarah, budaya, dan teknologi di Makassar.
Sri Wahyuni
Makassar
Benteng Rotterdam, situs bersejarah yang dulunya merupakan benteng Ujung Pandang milik Kerajaan Gowa pada abad ke-16, menjadi latar penting bagi “Jelajah Jala.” Festival ini menyediakan wadah untuk berdialog dengan sejarah kolonial di Makassar dan Indonesia, menggali bagaimana sejarah kolonial membentuk identitas kosmopolitan kota Makassar.
“Jelajah Jala” menghadirkan berbagai karya seni media, melibatkan tujuh seniman individual, empat kolektif, dan 13 karya kolaborasi dari berbagai daerah di Indonesia. Karya-karya ini mencoba beradaptasi, berdialog, dan mengaktivasi secara kritis hubungan antara sejarah, budaya, dan teknologi.
Di tengah halaman benteng, karya “Hujan Khatulistiwa” oleh Iwan Yusuf (Yogyakarta) dan Nara Lab (Makassar) berdiri megah. Instalasi monumental ini memadukan imaji awan kumulus dari serat jala bekas, scaffolding berwarna merah muda, serta permainan cahaya dan seni bunyi. “Hujan Khatulistiwa” menciptakan dialog antara alam, teknologi, bangunan, dan sejarah, mencerminkan tema jejaring dan eksplorasi yang menjadi inti festival ini.
Di sisi lain, “Walenreng: Chaos and Order” merupakan kolaborasi seniman Makassar yang terdiri dari lukisan tanah di atas kanvas, proyeksi video animasi, dan “lunas” (pondasi kapal) yang melambangkan keseimbangan antara alam dan budaya. Pohon walenreng, simbol keteraturan dan kekuatan dalam tradisi Bugis, menjadi pusat narasi dalam karya ini. Pohon walenreng tidak hanya menyediakan bahan baku untuk kapal phinisi, tetapi juga melambangkan kebijaksanaan lokal yang diwariskan turun-temurun.