SuarA: Nurul Ilmi Idrus
Perselingkuhan adalah istilah populer dan semakin populer belakangan yang merujuk pada perbuatan pengkhianatan terhadap pasangan. Meskipun perselingkuhan dapat terjadi pada pacaran, kolom ini berfokus pada perselingkuhan dalam perkawinan yang trennya juga dinamis.
Di masa lampau tren perselingkuhan terjadi antara seorang suami dan seorang perempuan lajang atau seorang istri dengan laki-laki lajang. Tren ini kemudian berubah menjadi perselingkuhan antara seorang suami dan seorang janda atau seorang istri dan seorang duda. Kini, tren perselingkuhan terjadi antara seorang suami dan istri orang atau seorang istri dan suami orang. Artinya, tren perselingkuhan ini terjadi antara orang-orang yang masing-masing memiliki pasangan dalam perkawinan.
Survei yang dilakukan oleh Just Dating pada tahun 2024 menunjukkan bahwa Indonesia menduduki peringkat kedua (40%) setelah Thailand (50%) di Asia sebagai negara yang memiliki kasus perselingkuhan tertinggi. Data juga menunjukkan bahwa lebih banyak perempuan yang berselingkuh daripada laki-laki, padahal ketika orang berbicara tentang perselingkuhan, orang cenderung berasumsi bahwa yang berselingkuh adalah suami.
Suami ketika berselingkuh umumnya ia tetap ingin mempertahankan istrinya, perempuan selingkuhannya hanya sebagai tempat persinggahan. Ini tergambarkan dalam series “Layangan Putus.” Aris (sang suami) menyelingkuhi istrinya (Keenan). Aris tak ingin menceraikan istrinya, tapi juga tak ingin meninggalkan selingkuhannya (Lydia). Ini mengindikasikan egoisme laki-laki karena menginginkan istri dan selingkuhannya, sekaligus mengorbankan keduanya. Di satu sisi, Keenan korban perasaan atas pengkhianatan suaminya dan menimbulkan konflik di antara keduanya. Di sisi lain, Lydia juga tak kunjung mendapatkan kepastian kapan akan dinikahi, sementara perselingkuhan tersebut telah dibumbui dengan perzinahan. Perselingkuhan dan perzinahan memang ibarat dua sisi mata uang yang tak terpisahkan.
Perempuan selingkuhan seperti ini disebut sebagai perebut laki orang (pelakor). Meski ada istilah perebut istri orang (pebinor), istilah pebinor kalah populer dibandingkan pelakor. Ini mengindikasikan bahwa stigma terhadap pelakor lebih keras dibandingkan dengan stigma terhadap pebinor, meski keduanya adalah penghianat atas pasangan masing-masing. Ini karena di Indonesia, ketika terjadi perselingkuhan, masyarakat lebih bersikap lebih permisif jika perselingkuhan dilakukan oleh suami dibandingkan jika perselingkuhan dilakukan oleh istri.
Tapi, kenapa kini pelaku perselingkuhan berselingkuh dengan orang yang juga memiliki pasangan? Ini karena berselingkuh dengan istri orang dianggap lebih menantang, apa lagi jika perempuan tersebut adalah mantan pacarnya. Pelakor kekinian juga identik dengan perempuan yang berani: berani memunculkan dirinya, berani merendahkan istri selingkuhannya, berani playing victim, berani menuntut banyak seakan ialah yang paling berhak atas segalanya. Ia ingin unjuk gigi, namun yang ditunjukkan adalah kualitasnya sebagai perempuan murahan. Hanya perempuan murahan yang berkemampuan untuk menjadi pelakor dan mengambil hak istri dan anak dari selingkuhannya, dan hanya suami murahan yang mau berselingkuh dengan perempuan murahan. Artinya, pelaku perselingkuhan sama-sama permisif (jika hanya satu pihak, namanya masturbasi), murahan (karena keduanya banting harga), dan dilakukan dengan kesadaran penuh (bukan kekhilafan karena khilaf itu by accident, bukan by consent).
What is more, perselingkuhan menimbulkan trauma yang mendalam pada diri istri dan anak dalam rumah tangga tersebut, dan itu akan terungkit terus sepanjang masa karena perempuan adalah “ahli sejarah.” Istri yang diselingkuhi “berbahaya” karena ucapannya (dalam keadaan sakit hati) adalah do’a, dan ini menjadi penghambat rezeki. Sebaliknya, suami yang berselingkuh dan kemudian dimaafkan akan cenderung mengulanginya, ibarat narkoba, sekali coba, lama-lama menjadi adiksi, kecuali jika sang suami bertobat nasuha. Gitu kan?