English English Indonesian Indonesian
oleh

Mengenal Tradisi Mattampung dalam Masyarakat Bugis

Oleh: Aulia
Mahasiswa Magang FAJAR dari Universitas Muhammadiyah Bone

Di tengah arus modernisasi, masyarakat Desa Cinnong, Kabupaten Bone, tetap mempertahankan tradisi luhur mereka, yaitu ritual Mattampung. Tradisi sakral ini dilakukan setelah prosesi pemakaman dan berfungsi sebagai bentuk penghormatan terakhir kepada almarhum, serta sebagai simbol ikatan antara keluarga dan komunitas dalam menghadapi kematian. Ritual ini tidak hanya melibatkan keluarga terdekat, tetapi juga seluruh warga desa, yang memperkuat nilai-nilai kebersamaan yang masih kental di masyarakat Bugis.

Bagi masyarakat Bugis di Desa Cinnong, Mattampung memiliki nilai-nilai filosofis yang mendalam. Ritual ini bukan sekadar upacara adat, tetapi juga cerminan penghormatan terhadap leluhur dan simbol kontinuitas hubungan antara dunia orang hidup dan orang yang telah meninggal. “Mattampung merupakan ungkapan rasa hormat kami kepada mereka yang sudah berpulang. Ini bukan hanya tugas keluarga, tetapi juga tanggung jawab sosial masyarakat,” kata H. Hasanuddin, tokoh masyarakat yang terlibat langsung dalam pelaksanaan tradisi Mattampung.

Sejarah panjang tradisi Mattampung berakar pada kepercayaan asli masyarakat Bugis sebelum datangnya agama Islam. Pada awalnya, ritual ini dilakukan untuk menjaga keseimbangan antara dunia manusia dan alam roh, sebuah konsep spiritual yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Meskipun kehadiran agama Islam telah memberikan perubahan signifikan dalam kehidupan masyarakat Bugis, unsur-unsur asli dari ritual Mattampung tetap dipertahankan dan diadaptasi dengan ajaran Islam. “Tradisi ini sudah ada sejak zaman leluhur kami. Meskipun ajaran agama masuk, kami masih menjalankannya dengan nilai-nilai yang telah disesuaikan,” jelas H. Hasanuddin.

Pelaksanaan ritual Mattampung melibatkan peran banyak pihak. Tokoh adat memimpin jalannya prosesi dengan doa-doa dan ritual khusus, sementara keluarga almarhum bertindak sebagai tuan rumah yang mengoordinasikan segala persiapan. Tidak hanya itu, seluruh masyarakat desa juga ikut serta dalam prosesi ini, menunjukkan solidaritas yang kuat di antara mereka. Keterlibatan seluruh warga dalam tradisi ini menjadi wujud nyata dari kebersamaan dan rasa saling menghargai yang diwariskan secara turun-temurun.

Dalam upaya menjaga keberlangsungan tradisi ini, masyarakat Desa Cinnong tidak melupakan peran generasi muda. Proses pewarisan nilai-nilai budaya Mattampung dilakukan melalui keterlibatan aktif anak-anak dan remaja dalam setiap prosesi. Anak-anak diperkenalkan sejak dini dengan nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi ini, sehingga mereka tumbuh dengan pemahaman yang kuat tentang pentingnya menjaga warisan budaya mereka. “Kami selalu mengikutsertakan anak-anak dalam setiap kegiatan ritual; ini adalah cara kami untuk memastikan bahwa mereka memahami dan menghargai tradisi ini,” ungkap Abbas, seorang warga desa.

Namun, di tengah semangat menjaga tradisi, tantangan tidak dapat dihindari. Pengaruh modernisasi yang semakin kuat membawa perubahan dalam pola pikir generasi muda. Sebagian dari mereka mulai mempertanyakan relevansi tradisi ini dalam kehidupan modern yang serba praktis. “Anak-anak muda sekarang lebih cenderung memilih hal-hal yang praktis dan sering kali melupakan adat istiadat,” keluh Abbas dengan nada prihatin. Selain itu, biaya yang cukup besar untuk melaksanakan ritual ini juga menjadi tantangan tersendiri, terutama bagi keluarga yang kurang mampu secara ekonomi.

Meskipun dihadapkan pada berbagai tantangan, masyarakat Desa Cinnong tetap berkomitmen untuk menjaga kelestarian tradisi Mattampung. Mereka berharap, melalui pendidikan budaya yang tepat, generasi muda akan terus menghargai dan melestarikan tradisi ini sebagai bagian tak terpisahkan dari identitas mereka. Dengan demikian, Mattampung tidak hanya menjadi warisan budaya, tetapi juga simbol ketahanan masyarakat dalam menjaga nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh leluhur mereka. (*)

News Feed