Oleh: M. Aris Munandar
Dosen Fakultas Hukum Unhas
Pemuda seringkali didefinisikan sebagai individu yang masih muda, sebagaimana tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Namun, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menggarisbawahi bahwa tidak ada definisi universal untuk kategori usia pemuda secara internasional. Dalam konteks statistik, PBB menetapkan usia pemuda berkisar 15 hingga 24 tahun, namun penetapan ini bukan sebagai patokan mutlak, melainkan sekadar keperluan statistik. Dengan demikian, menjadi pemuda bukanlah semata soal usia, tetapi juga prinsip hidup, gaya hidup, dan semangat.
Tanggal 28 Oktober 1928 adalah momentum bersejarah yang diperingati sebagai Hari Sumpah Pemuda. Pada tanggal tersebut, para pemuda Indonesia bersatu dan berikrar melalui Sumpah Pemuda. Tokoh-tokoh seperti Muhammad Yamin, yang berperan besar dalam merumuskan dasar negara dan konstitusi Indonesia, bersama dengan pemuda lain seperti Soegondo, Amir Sjarifoeddin, dan Johannes Leimena, berperan penting dalam peristiwa ini. Tiga poin utama Sumpah Pemuda yang mereka ikrarkan berbunyi: (1) bertumpah darah satu, tanah Indonesia; (2) berbangsa satu, bangsa Indonesia; dan (3) menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Ikrar tersebut mengandung makna yang dalam tentang semangat patriotisme dan kesatuan bangsa, menjadi fondasi bagi pemuda untuk selalu memiliki prinsip yang kuat dalam bernegara dan mengikuti perkembangan zaman tanpa kehilangan nilai-nilai dasar.
Dalam konteks kekinian, pemuda diharapkan dapat menjadi generasi yang tangguh, tidak mudah menyerah, dan mampu bersaing secara intelektual. Namun, tantangan baru muncul di era digital yang penuh kemudahan. Survei Populix pada April 2023 mencatat bahwa 45 persen responden di Indonesia, termasuk banyak dari kalangan muda, menggunakan platform berbasis kecerdasan buatan (AI) seperti ChatGPT (52 persen) dan Copy.ai (29 persen). Meskipun teknologi ini menawarkan banyak kemudahan, di sisi lain, pemuda kerap dikritik karena dianggap lebih tertarik pada cara-cara instan, yang berisiko mengurangi kemampuan berpikir kritis dan membuat mereka bergantung pada teknologi (sumber: https://tekno.tempo.co/).