Kondisi ini kontras dengan Indonesia yang jumlah kelas menengahnya hanya 21,45 persen dari populasi pada 2019, turun menjadi 19,82 persen tahun 2021, dan 17,13 persen tahun 2024. Hukum Engel mengatakan bahwa semakin rendah pendapatan maka porsi pengeluaran untuk makanan dan minuman semakin tinggi, sementara untuk pendidikan semakin rendah.
Perekonomian Indonesia juga menghadapi masalah rendahnya ketersediaan tenaga kerja terampil dan berpendidikan tinggi. Data menunjukkan bahwa sekitar 60 persen pekerja secara nasional adalah tamatan Sekolah Dasar (SD) atau tidak tamat SD. Dan hanya 30 persen dari angkatan kerja yang merupakan luaran sekolah menegah pertama dan atas.
Sejalan dengan itu, dalam rangka mewujudkan mimpi Indonesia, ada baiknya kita belajar dari Brazil dan Korea. Sejak tahun 1965 – 1980, Brazil tumbuh rata-rata 5,6 persen dengan PDB per kapita 7.600 dolar AS tahun 1980. Tetapi Brazil tidak sukses menjadi negara maju dengan pendapatan per kapita 12.500 dolar AS karena kelas menengahnya hanya 29 persen dari populasi.
Hal berbeda dengan Korea yang tumbuh 6,5 persen selama periode 1965 – 1980 memiliki pendapatan per kapita 7.700 dolar AS tahun 1986. Gini ratio yang rendah, membuat kelas menengah Korea lebih dari 53 persen populasi sejak 1990-an. Hal ini menjadi penggerak utama ekonomi Korea hingga mencapai pendapatan per kapita 12.500 dolar AS tahun 2003.
Akhirnya, kata kunci kemajuan ekonomi Korea yang perlu kita adopsi adalah tingginya persentase kelas menengah yang merupakan tenaga kerja terampil dan berpengetahuan tinggi. Modal ini yang memudahkan Korea mengadopsi, mengadaptasi dan menciptakan teknologi manufaktur terbaru dengan produk manufkatur yang sangat kompetitif di pasar ekspor. (*)