Sebagai contoh, Pilkada DKI Jakarta 2017 menunjukkan bagaimana partisipasi publik dan keterbukaan informasi memengaruhi hasil pemilihan. Selama kampanye, masyarakat Jakarta aktif mengikuti debat dan diskusi publik yang mempertemukan para kandidat. Debat tersebut tidak hanya menarik perhatian warga, tetapi juga menjadi ajang bagi kandidat untuk memaparkan program konkret, seperti rencana penataan transportasi dan penanganan banjir.
Namun, Pilkada ini juga memperlihatkan sisi gelap demokrasi elektoral, yaitu munculnya isu-isu identitas dan politisasi agama. Meskipun demikian, keterlibatan publik yang tinggi menunjukkan bahwa masyarakat dapat menjadi aktor utama dalam proses demokrasi. Pengawasan masyarakat terhadap jalannya pemerintahan setelah Pilkada, seperti melalui forum diskusi dan media sosial, juga membuktikan pentingnya keterlibatan warga dalam memastikan akuntabilitas pemerintah.
Oleh karena itu pendek kata, pilkada yang ideal adalah pilkada yang tidak hanya prosedural, tetapi juga substansial dan partisipatif. Dengan menerapkan teori demokrasi partisipatoris, proses Pilkada bisa menjadi lebih bermakna karena masyarakat terlibat aktif dalam semua tahap, mulai dari pencalonan hingga pengawasan. Hal ini penting untuk memastikan bahwa kepala daerah yang terpilih benar-benar memiliki kapasitas dan komitmen untuk memajukan daerahnya.
Untuk mewujudkan pemerintahan yang ideal, perlu ada reformasi dalam sistem pilkada agar praktik seperti politik uang dan manipulasi kekuasaan bisa diminimalisir. Selain itu, kampanye harus berbasis gagasan dan masyarakat harus didorong untuk berperan aktif dalam pengawasan kebijakan publik. Dengan begitu, Pilkada bisa menjadi instrumen yang efektif untuk mewujudkan pemerintahan yang akuntabel, responsif, dan berpihak pada kepentingan rakyat. (*)