Sementara pengamat politik Unhas, Hasrullah juga menyebutkan, lembaga survei dalam Pilkada seringkali menghadapi berbagai dilema yang memengaruhi kepercayaan publik, integritas, dan independensi mereka. Seperti independensi dan netralitas.
Lembaga survei kata dia, kadang-kadang menghadapi tekanan dari pihak sponsor, seperti kandidat atau partai politik, untuk menghasilkan hasil survei yang menguntungkan. “Ini bisa berupa tekanan untuk memanipulasi data atau menampilkan hasil dengan cara yang membuat calon tertentu terlihat lebih populer daripada kenyataan. Dilema ini menciptakan tantangan besar bagi lembaga survei yang ingin mempertahankan integritas tetapi juga bergantung pada dukungan finansial,” ungkapnya.
Bukan hanya itu, menurut Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Unhas, beberapa lembaga survei, baik secara sadar atau tidak, bisa terjebak menjadi alat kampanye kandidat. Survei yang dipublikasikan secara luas oleh media atau tim kampanye sering kali digunakan untuk meningkatkan citra seorang calon.
“Jika hasilnya dianggap menguntungkan calon tertentu, survei tersebut dijadikan alat promosi, sementara jika tidak menguntungkan, survei bisa dikesampingkan atau diragukan kredibilitasnya. Ini menciptakan dilema etis tentang bagaimana hasil survei dipublikasikan dan dipolitisasi,” ungkapnya.
Dengan begitu, menurutnya jika sebuah lembaga survei terlibat dalam skandal atau dianggap memihak, kepercayaan publik terhadap lembaga tersebut — dan lembaga survei secara umum — akan menurun. “Dilema ini bisa berdampak jangka panjang terhadap reputasi lembaga survei. Menurunnya kepercayaan publik terhadap survei membuat pemilih skeptis terhadap hasil yang dipublikasikan, sehingga lembaga survei kehilangan pengaruh sebagai sumber informasi yang kredibel,” jelasnya.