Dimana hanya China, Jepang, Singapura, dan Hong Kong yang perekonomiannya menjadi developed countries. Sementara Lebanon dan Suriah stagnan sebagai negara berpendapatan menengah dan bahkan menjadi negara miskin. Developed countries memiliki institusi yang inklusif dan negara yang terjebak sebagai negara miskin memiliki institusi yang ekstraktif.
Institusi ekstraktif berdampak pada lemahnya rule of law. Hal ini tercermin pada Corruption Perception Index (CPI) yang buruk. Dimana, dari 33 negara yang tumbuh lebih dari 10% dalam 50 tahun terakhir hanya Jepang, Singapura dan Hong Kong yang memiliki peringkat CPI terbaik. Sementara lainnya memiliki peringkat CPI yang buruk.
Sistem ekonomi yang ekstraktif juga berdampak pada gini index yang tinggi, mencerminkan tingginya ketimpangan antar pendapatan per kapita. Dimana negara-negara, seperti Angola, Bosnia & Herzegofina, Brazil, Kongo, dan Rawanda memiliki indeks gini sekitar 50% yang mencerminkan ketimpangan yang tinggi.
Sejalan dengan World Inequality Report (WER), negara seperti Jepang memiliki inequality index yang relatif baik. Dalam kasus Jepang, 50% penduduk termiskin menguasai kekayaan nasional realatif besar, yaitu 16,78%, 10% penduduk terkaya menguasai 52,71%, dan 1% penduduk terkaya menguasai 18,20% pendapatan nasional.
Sementara negara dengan institusi ekstraktif, seperti Brazil memiliki inequality index yang buruk, yaitu peringkat 17 dari 160 negara yang disurvei. Hal ini tercermin pada penguasaan pendapatan nasional oleh 50% penduduk termiskin hanya 10,07%, 10% penduduk terkaya menguasai sekitar 58,56%, dan 1% penduduk terkaya menguasai 26,60%.