Berkenaan dengan hal tersebut makna dari rumusan Pasal 482 ayat (1) a quo, yang menyatakan “Pengadilan Negeri dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara Tindak Pidana Pemilu paling lama 7 (tujuh) hari setelah pelimpahan berkas perkara dan dapat dilakukan dengan tanpa kehadiran terdakwa” berarti paling lama 7 (tujuh) hari setelah pelimpahan berkas perkara, perkara yang telah dilimpahkan berkasnya ke pengadilan negeri harus telah diputus.
Secara implisit, batas waktu dimulainya atau berlakunya jangka waktu 7 (tujuh) hari tersebut adalah sudah jelas, yaitu hari berikutnya setelah berkas perkara tersebut dilimpahkan kepada pengadilan negeri.
Selanjutnya, pengadilan negeri harus menggunakan waktu selama 7 (tujuh) hari tersebut untuk menyelenggarakan proses peradilan yaitu dalam rangka memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Dengan berpedoman pada prinsip kepastian hukum dan peradilan cepat serta berbiaya ringan sebagaimana yang telah Mahkamah uraikan dalam pertimbangan di atas, maka selayaknya dimulainya waktu 7 (tujuh) hari tersebut adalah sesegera mungkin setelah pelimpahan berkas perkara, dan hal ini secara implisit telah tercantum dalam rumusan Pasal 482 ayat (1) UU 7/2017.
“Oleh karena itu, menurut Mahkamah, rumusan Pasal 482 ayat (1) UU 7/2017 adalah cukup jelas, sehingga tidak bertentangan dengan prinsip kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Dengan demikian, dalil para Pemohon bahwa Pasal 482 ayat (1) UU 7/2017 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum,” ujaff Hakim Arief.