English English Indonesian Indonesian
oleh

Solong untuk Pengantin

Setiap kali senja mulai menyelimuti desa, bayangan ayah selalu hadir. Dalam benakku, aku bisa melihat ayah duduk di halaman rumah dengan penuh konsentrasi, merangkai bambu, kapas, dan kemiri menjadi solong yang indah. Mattunu solong bukan sekadar menyalakan api; itu adalah ritual yang menghubungkan kami dengan leluhur, merayakan momen-momen kebahagiaan dan berkumpulnya keluarga. Tradisi ini begitu kental dalam budaya kami. Setiap kali ada pernikahan, api solong dinyalakan sebagai simbol penerangan dan restu bagi pasangan yang baru menikah. Di awal Ramadan, solong dinyalakan untuk menyambut bulan suci, memberikan cahaya dan harapan baru. Dan di akhir Ramadan, solong kembali dinyalakan, menandakan kemenangan setelah sebulan berpuasa, sebuah perayaan kebersamaan dan cinta.

Namun, sejak ayah pergi, tradisi ini terasa berbeda. Aku bisa melihat kesedihan di mata ibu setiap kali ia menyalakan solong. Api yang dulu memancarkan kebahagiaan kini juga membawa duka dan kenangan tentang ayah. Setiap kali solong dinyalakan, ibu tak bisa menahan air matanya, merindukan kehadiran ayah yang selalu membawa kehangatan. Meskipun begitu, ibu berusaha keras menjaga tradisi ini. Ia tahu bahwa mattunu solong bukan hanya tentang kenangan, tetapi juga tentang harapan dan penerusannya ke generasi berikutnya. Aku sering membantu ibu dalam membuat solong, merasakan setiap detik kenangan bersama ayah, dan belajar dari ketekunan serta cinta ibu.

Waktu terus berlalu kenangan tentang ayah mulai digerus oleh kesibukan yang terus menerus datang tanpa hentinya. Saat ibu merangkai solong dengan desain yang aneh, aku merasa seperti ada yang sedang menunggu sesuatu sesuatu yang tidak bisa aku pahami. Suara ketukan pintu terus berdatangan, semakin cepat dan semakin mendesak. Aku merasakan ketegangan di udara, seolah ada rahasia besar yang sedang mengintai di balik setiap ketukan dan permintaan.

News Feed