Hari ini ada yang meminta ibu membuat solong dengan bambu yang dimekarkan dengan 7 mata solong. Perlahan, ibu mengambil kapas dan buah kemiri yang baru saja dibeli ibu sore tadi. Aku membantu ibu dalam membuat solong untuk acara melattigi [3] salah seorang bangsawan di kampung ini. Tak ada yang menafikan kecantikan calon mempelai wanitanya. Namun yang disayangkan, ia tertangkap warga kampung bercinta dengan laki-laki yang belum menikahinya. “menurutku itu bisa saja mengurangi kesakralan mattunu solong dalam adat”
“Ibu, seandainya ayah masih ada, mungkin keindahan solong buatan ibu akan jauh lebih disukai banyak orang,” kataku.
Ibu tersenyum “Ayahmu dulu sangat suka bermain dengan api untuk menciptakan keindahan solong. Banyak percobaan dilakukannya.”
“Solong dengan 9 mata itu, apakah hanya untuk pernikahan kaum bangsawan saja, ya?” tanyaku.
Ibu mengangguk. “Ya, solong dengan 9 mata dibuat untuk mereka yang derajatnya lebih tinggi dari warga kampung yang lain.”
Aku tersenyum kecil. “Tapi semoga suatu hari, solong kita bisa dinikmati oleh semua orang.”
Ibu tersenyum haru. “Amin, nak. Semoga cahaya solong yang ibu buat, dapat menyinari semua hati dan rumah warga kampung.”
Cahaya merah indah yang dihasilkan api dari solong membuat orang-orang berebut ingin menggunakannya dalam prosesi mallatigi mereka. Namun, biasanya mereka hanya bisa mendapatkan solong dengan mata yang lebih sedikit, seperti solong dengan 7 mata. Meskipun demikian, pesona dan keindahan solong tetap memikat hati siapa pun yang melihatnya. Demikian, rumahku yang usang menjadi tujuan warga kampung yang ingin menghadirkan solong dalam acara mallatigi mereka. Ketukan pada pintu, setiap hari ada dirumahku. Mereka datang dengan harapan dapat membawa pulang sepotong keajaiban yang akan menghiasi malam istimewa mereka. Dari pintu rumahku, mereka memandang penuh harap, berharap ibu bisa membuatkan solong yang akan menambah kemeriahan acara mereka.