Oleh Aswar Hasan
Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1952) mengartikan “sontolojo”, berarti “bodoh sekali” atau “dungu”. Sementara di Kamus Umum Bahasa Indonesia (1976), kata itu dimaknai “kurang baik seperti konyol, tidak beres, bodoh.”
Bung Karno bahkan pernah menulis bahwa “banyak di kalangan kita yang Islam-nya masih ISLAM SONTOLOYO!” tulis Bung Karno (Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid I. Dalam artikel Bung Karno pada tahun 1940. Di majalah Pandji Islam, Bung Karno menulis artikel “Islam Sontoloyo”. Artikel itu sebuah otokritik. Dalam pikiran Bung Karno, banyak orang Islam yang cara pandangnya sempit, baru pada tataran “kulit”, bukan jiwa. Lebih lengkapnya silakan baca bukunya yang berjudul Islam Sontoloyo pada 1940.
Kata sontoloyo kadang dijadikan umpatan. Sebagai kata umpatan, pada pertengahan 1970-an, kata itu pernah begitu popular dan diabadikan menjadi judul film: “Paul Sontoloyo (1974)”. Film itu dibintangi aktor Kris Biantoro dan Ratmi B-29.
Presiden Jokowi pun pernah mengatakannya di tahun 2018 (“waktu itu dianggap masih baik”). Pernyataan Presiden Jokowi tentang Sontoloyo saat Pembagian 5.000 Sertifikat Hak atas Tanah untuk warga Jakarta Selatan ternyata menuai kontroversi. Kendati Jokowi menjelaskan kembali di hari berikutnya bahwa ia kelepasan menyebut istilah tersebut karena jengkel (Droneemprit, 27/10-2018).
“Politik Sontoloyo” yang terkenal itu, konon juga pernah disinggung oleh Presiden Soekarno. Soekarno menggunakan istilah “sontoloyo” untuk mengkritik politikus dan pejabat yang lebih mementingkan kepentingan pribadi atau kelompok daripada kepentingan bangsa dan negara.
Dalam pidatonya, Soekarno menyinggung bagaimana politik yang tidak berpihak pada kepentingan bangsa adalah “politik sontoloyo”, sebuah istilah yang mencerminkan kebijakan yang menyesatkan dan tidak berorientasi pada rakyat.
Soekarno menekankan bahwa tindakan dan pikiran para politikus harus difokuskan pada pembangunan bangsa, bukan sekadar pada ambisi pribadi atau golongan. Dia mengajak agar para politikus berhenti melakukan politik yang “sontoloyo” dan mulai bekerja dengan serius untuk rakyat, guna mencapai cita-cita kemerdekaan yang sesungguhnya.
Berikut ini ada semacam puisi yang anonim yang menurut penulis relevan untuk kita renungkan;
Ada yang berkuasa tapi tak berdaya. Suaranya keras tapi isi hampa. Tindak tanduknya berliku-liku. Janji manisnya menipu rindu. Lihat dia di layar kaca. Mengumbar kata tanpa makna. Kritik dianggap pelanggaran. Yang benar ditukar kebohongan.
Sontoloyo, sontoloyo,
Pidatonya panjang tapi tak berdasar. Rakyat ditipu untuk kepentingan pribadi.
Siapa dia, siapa dia?
Yang kau puja tapi tak nyata
Siapa dia, siapa dia?
Yang bicara tapi tak ada makna. Bangsa ini tak butuh sontoloyo. Yang kita perlu pemimpin sejati. Jujur, adil, bijaksana. Bukan sekadar retorika belaka.!
Kolom ini akhirnya saya tutup dengan puisi dari Fadli Zon yang berjudul;
SONTOLOYO!
kau bilang ekonomi meroket
padahal nyungsep meleset
sontoloyo!
kau bilang produksi beras berlimpah
tapi impor tidak kau cegah
sontoloyo!
kau bilang pengangguran turun
orang cari kerja makin berjibun
sontoloyo!
utang numpuk bertambah
rupiah anjlok melemah
harga-harga naik merambah
hidup rakyat makin susah
kau jamu tuan asing bermewah-mewah
rezim sontoloyo!