English English Indonesian Indonesian
oleh

Reimajinasi Indonesia dalam Perspektif Arkipelagis: Memahami Kembali Laut sebagai Ruang Kultural

Indonesia, dengan kekayaan budaya dan lautan yang luas, memerlukan pandangan yang lebih inklusif. Sudah saatnya kita membuka mata dan memahami bahwa lautan bukanlah sekadar pemisah, melainkan penghubung yang mempersatukan kita semua, menciptakan identitas Indonesia yang beragam dan dinamis.

Zatihulwani – Ummul Asri Ulandari

Makassar

Indonesia tidak hanya terdiri dari ribuan pulau, tetapi juga dikelilingi oleh lautan yang luas. Setiap pesisir menyimpan jejak sejarah yang berakar kuat pada budaya maritim. Namun, narasi dominan sering memandang laut sebagai batas pemisah, bukan sebagai ruang dinamis yang menyatukan. Reimajinasi Indonesia dari perspektif arkipelagis menuntut kita untuk melihat laut dengan cara yang berbeda—sebagai penghubung budaya dan identitas.

Pada hari Kamis, 7 Oktober, tepatnya pukul 09.00 WITA, suasana di Auditorium Prof. A. Amiruddin, Universitas Hasanuddin, sangat ramai. Mahasiswa dan peserta kuliah umum berkumpul menantikan pemaparan dari Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan Kemdikbudristek. Antusiasme terlihat jelas di wajah-wajah muda yang penuh semangat. Hilmar mengajak kita untuk kembali memahami arti penting laut bagi kebudayaan Indonesia.

“Laut bukanlah batas, melainkan jembatan yang menyatukan identitas dan budaya kita,” ujarnya penuh keyakinan. Ia menggambarkan bagaimana sejarah maritim Indonesia—mulai dari pelayaran para nelayan hingga epos agung La Galigo—menunjukkan bahwa laut telah menjadi inti kehidupan masyarakat sejak zaman dahulu.

Hilmar Farid memandang gagasan perspektif arkipelagis sebagai suatu keterhubungan atau relasionalitas. Secara etimologi, arkipelagis berasal dari dua kata yaitu, “arkhi” yang  berarti “memimpin” dan “pelagos” berarti laut. Menurutnya, laut, dengan segala perubahan suhu dan arusnya, merupakan ruang yang dinamis. Memahami laut memerlukan kecermatan karena ia bukan sekadar hamparan air, melainkan ruang hidup yang kaya akan aktivitas sosial dan budaya.

Di Indonesia, desentralisasi budaya menjadi penting mengingat identitas kita adalah identitas yang cair dan terus berubah, seiring dengan pertukaran dan interaksi antara pulau-pulau. Perspektif arkipelagis mengajak kita untuk berpikir lebih fleksibel dalam melihat identitas dan kebudayaan Indonesia sebagai sesuatu yang terus bergerak dan berkembang.

Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki keunikan yang tidak dimiliki oleh negara lain. Sebagai contoh, wilayah Wallacea terkenal dengan keanekaragaman biokultural yang sangat tinggi, yang merupakan hasil dari keterhubungan dinamis antara daratan dan lautan.

Mengakhiri kuliahnya, Hilmar mengajak kita semua untuk berani melakukan reimajinasi terhadap Indonesia dalam kerangka yang lebih relevan dengan realitas kita sebagai negara kepulauan. Hilmar menegaskan pentingnya perspektif baru ini: “Salah satu masalah utama yang kita hadapi adalah kerangka konseptual kita yang belum sepenuhnya terarah. Kita masih melihat laut sebagai pemisah, bukan sebagai penghubung,” ujarnya dengan tegas.

Di akhir perkuliahan, Hilmar juga menyampaikan harapannya bahwa diperlukan langkah konkret di dunia pendidikan untuk menghidupkan kembali jejaring maritim. “Unhas menjadi rumah untuk mempelajari segala sesuatu tentang arkipelagis. Sebagai salah satu kampus tertua dan terpenting, dengan jaringan yang luas dan posisi strategis, Unhas memiliki peran penting dalam pengembangan studi ini,” pungkasnya. (*)

Mahasiswa Sastra Inggris Unhas – Magang FAJAR

News Feed