(Kasus Ahmad Dhani dan Dahlan Iskan)
Dua peristiwa yang berdekatan menunjukkan model dakwah yang eksklusif. Peristiwa pertama adalah Ahmad Dhani pentolan grup musik Dewa 19 dinilai melanggar syariat Islam oleh seorang pengurus MUI karena menyanyikan surat Alfatihah dengan iringan musik. Peristiwa kedua adalah Dahlan Iskan dinilai murtad karena dalam satu acara di klenteng membawa patung Dewa untuk diletakkan kembali di tempatnya, yang sebelum diletakkan, patung itu seolah dijunjung tiga kali ke dekat ubun²nya, dan setelah diletakkan, Dahlan Iskan menghormat dengan membungkukkan badan tiga kali.
“Melanggar syariat” dan “murtad” (keluar dari Islam) adalah istilah yang sering dipakai oleh pemuka Islam yang merasa keislamannyalah yang benar. Istilah itu ditimpakan kepada orang Islam yang perbuatannya dinilai menyimpang, merusak atau keluar dari Islam. Perbuatan Ahmad Dhani dan Dahlan Iskan dinilai sudah tergolong menyimpang, merusak, atau keluar dari Islam.
Sebagai seorang muslim dan tokoh publik, saat bermusik dengan Alfatihah sebagai syair lagunya, Ahmad Dhani tentu tidak bermaksud melecehkan surah Alfatihah. Saya mengira, dengan Alfatihah yang dimusiki. Ahmad Dhani berharap firman Allah itu memberi “berkah” kepada pengunjung konser musiknya, selain “berkah” untuk seluruh awak grup musik Dewa 19. Adapun Dahlan Iskan, juga sebagai seorang muslim dan tokoh publik dan pers yang amat dikenal luas, belum terbaca oleh saya pernyataannya bahwa dia keluar dari Islam.
Memang model dakwah orang Islam setidaknya ada dua: inklusif dan eksklusif. Terbuka, merangkul dan tertutup, menolak. Sikap orang Islam terhadap kasus Ahmad Dhani dan Dahlan Iskan bisa dilihat dari dua model dakwah itu. Yang memandang Ahmad Dhani telah melanggar syariat Islam dan Dahlan Iskan telah murtad adalah contoh model dakwah yang eksklusif, tertutup dan menolak. Sedang yang menilai kedua tokoh publik itu tidak menyimpang atau keluar dari Islam adalah model dakwah yang inklusif, terbuka dan merangkul.