Mereka berusaha menyelamatkan diri dengan menggunakan sampan kecil dan ada sebagian yang berenang sampai di pantai Campae Barru pada 17 Februari. Dua orang meninggal dan sisanya dapat meloloskan diri dan bergabung dengan HI di Barru. Setelah kondisi stabil, nakhodanya memperbaiki perahu yang rusak hingga layak layar, lalu dikembalikan kepada pemiliknya di Kalukalukuang.
Tujuh belas tahun kemudian, Sitti Hawa menyerahkan perahunya kepada seorang anggota ekspedisi, yaitu A.A. Rifai, saat itu menjabat Gubernur Sulawesi Selatan. Pada 14 Juni 1964, nama perahunya diganti menjadi Kapten Pahlawan Laut dalam satu upacara di Kalukalukuang yang dipimpin oleh Rifai.
Ketika Achmad Lamo, bekas anggora ekspedisi yang lain, menjabat Gubernur Sulawesi Selatan, perahu tersebut diserahkan kepada TNI AL. Perahunya dibawa oleh Menda (putra Bakar Puang Menda) bersama 6 awaknya (M. Tahir, Kaharuddin, Abuhae, Abdul Muthalib, Bakri, dan Haya), yang didampingi oleh Darwis Wahid mewakili pemerintah Kecamatan Kalmas ke Pangkajene.
Kapten Pahlawan Laut dibawa ke Ujung Pandang dan ditempatkan di Dermaga 7. Pada 1 Juli 1976, perahu dibawa ke Surabaya oleh Wahid yang dibantu oleh tujuh awaknya. Pelayaran ke sana dikawal oleh sebuah kapal AL sampai tiba di Surabaya. Kemudian perahunya disimpan di Museum TNI AL Loka Jala Srana sampai sekarang. Inilah satu-satunya perahu dari zaman revolusi Indonesia yang selamat (Hamid 2020).
Miniatur Kapten Pahlawan Laut terpasang di sisi kiri jembatan Sungai Pangkajene Kabupaten Pangkep, kalau kita bertolak dari Makassar ke Parepare. Sayangnya tidak ada narasi di sana sehingga tak ada kabar apa pun tentang kontribusi penting perahu tersebut bagi revolusi Indonesia. (*)