Dari 33 negara yang mampu mencapai pertumbuhan double digit dalam 50 tahun terakhir, hanya Jepang, Hong Kong, Korea Selatan (Korea), Taiwan, dan Singapura yang berhasil naik kelas menjadi negara maju.
Perekonomian keempat negara di atas digerakkan oleh R&D yang menghasilkan inovasi teknologi. Sementara negara lainnya gagal karena pertumbuhan ekonominya hanya bertumpu pada ketersediaan Sumber Daya Alam (SDA), seperti Botswana, Azerbaijan, Iran, Nigeria dan lainnya.
Sebaliknya, negara-negara yang mencapai status sebagai negara maju memiliki pengeluaran R&D lebih dari 2 persen GDP-nya. Sebagai contoh, Jepang sekitar 3,3 persen, Korea bahkan sebesar 4,93 persen, Jerman 3,14 persen, Perancis 2,22 persen, dan AS 3,46 persen pada tahun 2021.
Sementara negara yang terjebak sebagai negara berpendapatan menengah (middle income trap) memiliki pengeluaran R&D yang lebih kecil. Sebagai contoh, Indonesia hanya 0,28 persen tahun 2020, Vietnam 0,43 persen tahun 2021, Afrika Selatan 0,60 persen tahun 2020, India 0,65 persen tahun 2020, dan Rusia 0,94 persen tahun 2022.
Implikasinya, terdapat kesenjangan pendaftaran Paten antara negara maju dengan negara berkembang. Pendaftaran paten baik oleh penduduk negara bersangkutan (Patent Application by Resident, PAR) maupun bukan penduduk yang mendaftarkan Patennya di negara bersangkutan (Patent Application by Non-Resident, PANR).
Sebagai contoh, pendaftaran Paten di Asia Pasifik dalam kategori PAR pada tahun 1990 sekitar 6.702 meningkat menjadi 805.159. Sementara kategori PANR tahun 1990 sekitar 10.262 menjadi 155.059 tahun 2024. Penyumbang terbesar pendaftaran Paten di Asia Pasifik adalah China, yaitu PAR meningkat dari 5.632 tahun 1990 menjadi 801.135 tahun 2024.