Bangsa kita sedang tak henti-hentinya berbenah diri menyongsong Indonesia Emas 2045, untuk Indonesia sebagai negara maju. Kini mesti dibangun jiwa bersatu bagi segenap warga bangsa. Semua yang bisa merusak persatuan hendaknya dibuang. Dendam, kebencian, perseteruan masa lalu, saatnya disetop. Atau, bolehkah dilupakan, dimaafkan.
Barusan saya saksikan Metro TV, diskusi tentang Pak Harto dan gelar pahlawan untuk beliau. Saya setuju kepada pikiran yang membela Pak Harto, presiden kedua kita. Saya tidak sependapat dengan pikiran yang selalu melihat masalah bangsa, terutama yang dipandang sebagai pelanggaran HAM dari perspektif hukum (salah-benar) saja. Padahal, masalah-masalah yang sensitif, termasuk yang berkaitan dengan HAM, sebenarnya bisa juga diselesaikan dengan menempatkannya dalam perspektif nilai-nilai budaya/tradisi, local wisdom, juga nilai agama-agama yang dianut oleh warga bangsa. Seperti dikatakan di atas, bangsa kita memerlukan sikap baru.
Surat kabar Fajar, pada hemat saya, juga mengambil langkah sejarah, mengubah dan membangun sikap baru bangsa. Setidaknya, Fajar mengapresiasi langkah pimpinan MPR yang kini melakukan rekonsiliasi kebangsaan dengan menjaga citra baik para pemimpin bangsa dan tidak perlu mengumbar kekeliruan kita sebagai bangsa yang pernah terjadi di masa-masa lalu. Fajar hendaknya menyiarkan terus kebaikan-kebaikan kita sebagai bangsa. Tidak perlu mengumbar aib berulang-ulang. Fajar adalah surat kabar yang memberi suluh bagi jalan sejarah bangsa. Fajar terbit terus dan terus menemani bangsa ini menuju Indonesia Emas, sebagai negara maju yang disegani dan dihormati!