English English Indonesian Indonesian
oleh

The Power of Silence

Oleh: Nurul Ilmi Idrus

Orang seringkali mengidentikkan diam atau keheningan (silence) dengan kesepian, keterasingan, dan semacamnya, sehingga kata diam seakan berkonotasi negatif. Akibatnya, banyak orang tampaknya takut pada keheningan. Namun, diam tidak selalu berarti betul-betul diam. Jika merujuk pada Mute Theory dari Ardener (1975), maka menurutnya masalah diam/bungkam adalah masalah komunikasi yang frustrasi, mereka yang diam tidak benar-benar diam, tapi pengungkapan mereka secara tidak langsung (indirect), bergumam (murmuring), atau bahkan membungkam (silence) karena mereka menggunakan bahasa yang dominan untuk mengatakan apa yang ingin dikatakan.

Namun, “diam adalah emas,” adalah frasa yang juga seringkali kita dengar. Di saat yang tepat diam dapat menjadi emas ketimbang banyak bicara, yang justru melemahkan yang bersangkutan atau bahkan menyakitkan orang lain. Di saat yang tepat, diam dapat berdampak positif dalam banyak hal, di antaranya, secara fisik (mengurangi tekanan darah, mengatur pernafasan, meningkatkan kekebalan tubuh), secara psikologis diam sebagai bentuk pengendalian diri (self control), dan secara sosial (menjaga hubungan baik antar manusia). Dalam konteks Bugis, orang diam disebut sebagai to makurang pau, sebagai bentuk pengendalian diri seseorang (maperrengi), dan menjadi salah satu ciri orang cakap (to acca). Biasanya, ini dilakukan untuk mencegah perkataan buruk (ada maja’), yang berkelindan dengan prinsip kehati-hatian (precautionary principle).

Meskipun berdasarkan PKPU No. 2 Tahun 2024, jadwal pelaksanaan kampanye adalah antara tanggal 25 September dan 23 November 2024, namun ketegangan antar calon mulai dan semakin nampak, terutama antar pendukung masing-masing. Umumnya dengan gaya bahasa provokatif, berupaya untuk menaikkan imej calon yang didukung dan menjatuhkan imej calon lawan, baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Dalam kaitan dengan ini, ada pepatah Bugis yang mengatakan, bahwa: “Rebba sipatokkong, mali diparappe, sirui’ menre’ tessirui no, malilu sipakainge’, mainge’pi mupaja” (rebah saling menegakkan, hanyut saling mendamparkan, tarik menarik ke atas, bukan tarik menarik ke bawah, khilaf saling memperingati hingga sadar). Ini bermakna bahwa manusia harus saling tolong menolong dari kesulitan arusnya kehidupan dan perlunya senantiasa saling memperingati ke jalan yang benar. Pada kenyataannya orang sirui no’, tessirui’ menre’ (tarik menarik ke bawah, bukan tarik menarik ke atas), saling menjatuhkan. Padahal, menjatuhkan lawan hanya akan menunjukkan kelemahan ketimbang kekuatan dari calon atau pendukung calon yang melakukannya.

News Feed