English English Indonesian Indonesian
oleh

Merawat Nalar Akademik Sebagai Siasat Bela Negara

OLEH: Harry Isra Muhammad
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Mulawarman / Peserta Latsar KDOD LAN Samarinda
Angkatan III

Di kampus-kampus kita, pada lorong-lorong senyap yang berisi meja, papan tulis, dan proyektor sedang berlangsung perjalanan yang tak kasatmata. Ini bukan sekadar perjalanan menuju sebuah gelar, bukan juga persaingan nilai atau kejar-kejaran kredit semester.

Di balik rutinitas akademik yang tampak kaku itu, ada medan perjuangan yang lebih halus, di mana nalar dipertaruhkan, pikiran dipelihara, dan rasa ingin tahu dijaga agar tak mudah mati. Medan inilah yang harus selalu dihidupkan, dan pendidik, yang mungkin tampak sebagai sosok biasa di atas mimbar pengajaran, adalah penjaga dari dunia sunyi ini—penjaga dari sebuah budaya yang rentan hilang: budaya diskusi.

Bayangkan seorang dosen sebagai penjaga api kecil yang terus menyala di tengah hutan lebat. Api itu adalah simbol dari pencarian pengetahuan, dari dorongan manusia untuk memahami dunia, dari kemauan untuk bertanya, meraba, dan merenung.

Di tangannya, api itu harus dijaga agar tidak padam, walau angin sering bertiup keras dari segala arah. Tapi tugas dosen bukan hanya menjaga api itu tetap hidup untuk dirinya sendiri. Ia harus berbagi nyala itu kepada mahasiswanya, membuat mereka merasakan hangatnya, membuat mereka berani menyentuh percikannya, untuk kelak menciptakan api mereka sendiri.

Budaya diskusi yang sejati tidak pernah lahir dari monolog panjang yang monoton. Ia tumbuh dalam ruang-ruang di mana pertanyaan bisa diajukan tanpa rasa takut, di mana pendapat bisa diperdebatkan tanpa prasangka. Di sini, seorang pendidik tidak lagi menjadi satu-satunya sumber pengetahuan, tetapi lebih sebagai penjaga gerbang, yang membuka jalan dan mengajak mahasiswanya untuk berani menelusuri jalan-jalan yang belum pernah mereka lewati sebelumnya. Keberanian untuk bertanya adalah nyawa dari budaya diskusi. Dan keberanian ini hanya bisa tumbuh jika dosen memiliki kepekaan: kepekaan untuk mendengarkan, merespons, dan, ketika perlu, membiarkan jawaban-jawaban tetap dalam keadaan terbuka.

Menemukan cakrawala baru dalam ruang-ruang diskusi

Budaya diskusi yang dibangun dosen adalah cara untuk menciptakan ruang ini—ruang di mana mahasiswa dapat menjelajahi dunia pengetahuan tanpa batas. Di sinilah pendidik dihadapkan pada ujian nyata: apakah mereka mampu menjadi pemandu yang tak mendikte? Apakah mereka cukup berani membiarkan diskusi berjalan ke arah yang tak terduga?
Pada titik ini, pendidik bukan lagi penguasa kebenaran. Ia adalah teman seperjalanan, yang bersama mahasiswanya menyusuri peta-peta pemikiran yang luas.

Dalam diskusi, baik di dalam kelas maupun di luar kelas, pendidik dengan integritas sejati memberikan kebebasan kepada mahasiswa untuk menyusun ulang pertanyaan, meruntuhkan asumsi, dan bahkan menolak dogma yang sudah lama diyakini. Di sinilah, pada saat mahasiswa menemukan keberaniannya sendiri untuk melawan batasan-batasan intelektual, integritas pendidik mencapai puncaknya. Karena bukan jawaban yang dihadiahkan, melainkan sebuah perjalanan berpikir yang lebih panjang.

Di luar ruang kelas, ada kehidupan lain yang tak kalah penting. Di kantin kampus, di ruang-ruang terbuka, atau bahkan di dunia virtual, diskusi seringkali mengambil bentuk yang lebih cair. Di sini, hierarki antara pendidik dan mahasiswa mulai luntur. Pendidik tidak lagi tampak sebagai penguasa pengetahuan, tetapi lebih sebagai teman berbagi cerita, sebagai seorang yang juga mencari kebenaran di tengah-tengah percakapan itu. Inilah yang ditunjukkan oleh Paulo Freire, bahwa pendidikan sejati lahir dari dialog yang egaliter, dari pertemuan gagasan-gagasan tanpa rasa takut.

Diskusi di luar kelas ini adalah napas panjang dari pendidikan itu sendiri. Di sini, mahasiswa belajar bahwa pengetahuan tidak hanya datang dari buku atau dari ujian, tapi juga dari perbincangan-perbincangan sederhana. Di sinilah mereka mulai memahami bahwa pendidikan adalah sesuatu yang berkelanjutan, tidak terbatas pada jadwal kuliah atau kurikulum formal. Pendidikan adalah kehidupan itu sendiri. Dan pendidik yang berintegritas memahami hal ini—mereka mengundang mahasiswa untuk tidak takut berbicara, tidak takut salah, dan tidak takut menjadi berbeda.

Nalar dan bela negara

Membangun budaya diskusi, pada akhirnya, adalah sebuah bentuk dari bela negara. Tapi bukan dalam arti yang sering kita pahami. Ini bukan tentang pertahanan fisik atau militer, tapi tentang menjaga nalar tetap hidup di tengah masyarakat yang seringkali digempur oleh informasi-informasi palsu dan manipulasi.

Di tengah banjir informasi yang memusingkan, kemampuan untuk berpikir kritis, untuk meragukan, dan untuk berdiskusi menjadi senjata paling ampuh. Dalam hal ini, pendidik yang menjaga ruang diskusi dengan integritas adalah mereka yang membekali mahasiswa dengan kemampuan untuk mempertahankan diri dari kekacauan zaman.

Di tengah derasnya arus informasi yang sering kali sulit disaring, kemampuan berpikir kritis dan membedakan antara fakta dan opini menjadi sangat vital. Kampus, sebagai benteng terakhir dari kebebasan akademik dan pencarian kebenaran, memikul tanggung jawab besar untuk melatih generasi muda agar memiliki kemampuan tersebut. Pendidik yang menumbuhkan budaya diskusi yang sehat, di mana mahasiswa merasa aman untuk mempertanyakan dan meragukan, adalah garda terdepan dalam pertempuran melawan kebodohan dan hoaks.

Dengan demikian, membangun budaya diskusi yang kritis di lingkungan akademik bukan hanya soal menjaga keberlangsungan pendidikan, melainkan juga upaya untuk menjaga masa depan bangsa. Dalam diskusi yang sehat, mahasiswa belajar untuk merespons, bukan sekadar bereaksi. Mereka dilatih untuk berpikir, bukan sekadar mengulang apa yang diajarkan. Pendidik yang berintegritas tidak hanya menciptakan ruang untuk belajar, tetapi juga ruang untuk menjadi—menjadi individu yang merdeka, yang mampu berpikir kritis, dan yang siap berkontribusi bagi bangsa. (*)

*Tulisan ini merupakan bagian tugas Pelatihan Dasar Bela Negara KDOD LAN Samarinda

News Feed