FAJAR, MAKASSAR-Perayaan Dies Natalis ke-68 Universitas Hasanuddin (Unhas), yang akan berlangsung pada Minggu, 8 September 2024. Pertunjukan tari kolosal yang istimewa akan dipersembahkan dengan tajuk “Tari Reso.”
Tarian ini dirancang Abdi Bashit, seorang koreografer sekaligus maestro seni budaya Sulawesi Selatan. Tari Reso menggabungkan gerakan-gerakan tari tradisional dari berbagai suku di Sulawesi Selatan, seperti Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja.
Kata “reso” diambil dari pepatah terkenal Bugis-Makassar, “Resopa temmangingi, namalomo naletei pammase dewata’e,” yang berarti bahwa kerja keras akan membawa hasil, sejalan dengan prinsip bahwa hasil tidak pernah mengingkari proses.
Saat ditemui di Lapangan JK Arenatorium pada Jumat (6/9/2024), Abdi Bashit menjelaskan, 250 penari dan pemusik akan terlibat dalam pertunjukan ini.
Keunikan dari pementasan ini adalah mayoritas penari bukanlah penari profesional, tetapi mereka tertarik belajar dan antusias bergabung.
“Proses seleksinya diserahkan ke Fakultas Ilmu Budaya (FIB), dan sebagian besar dari mereka bukanlah penari. Bahkan, ada yang terakhir menari saat masih kecil,” ungkapnya.
Para penari dan pemusik telah menjalani latihan sebanyak 20 kali pertemuan. Dengan persiapan yang matang ini, diharapkan mereka dapat tampil dengan baik.
Abdi juga berharap, minat para peserta tidak berhenti pada pementasan ini saja, melainkan dapat berkembang melalui Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) terkait seni.
Erwin Sulaiman, selaku komposer musik, memaparkan bahwa musik yang akan mengiringi tari Reso masih berfokus pada eksplorasi kearifan lokal.
Salah satu elemen yang diambil adalah teks dari tradisi massure’, yang kemudian dinotasikan dan dibawakan dalam bentuk paduan suara. “Sure’ aslinya tidak bisa diubah, jadi kita coba menotasikan teksnya dan membawakan bersama teman-teman vokal,” jelas Erwin.
Musik yang disajikan akan menjadi kombinasi antara musik digital dan musik tradisional, dimainkan oleh mahasiswa Unhas.
Menariknya, semua pemain kecapi dalam pertunjukan ini adalah perempuan, yang berasal dari Teater Kampus Unhas.
“Kecapinya semuanya dimainkan oleh perempuan, tidak ada laki-laki. Selain itu, kita tetap menggunakan unsur kekinian, menggabungkan bunyi-bunyian etnik dengan audio digital untuk menjaga keseimbangan antara tradisi dan teknologi modern,” jelasnya (*).
Penulis: Zatihulwani & Ummul Asri Ulandari
Mahasiswa Sastra Inggris Unhas yang melaksanakan magang mandiri di FAJAR