Oleh : Dr. Andi Arfan Sahabuddin, SH., MH.
Wakil Dekan I Bidang Akademik, Fakultas Hukum, Universitas Islam Makassar
INDONESIA telah memasuki tahun politik, yang berarti perhelatan akbar politik, diantaranya Pileg, Pilpres, dan Pilkada serentak yang akan datang, pada bulan November 2024. Tahun ini bisa dikatakan sebagai “Tahun Pesta Demokrasi”, di mana masyarakat bebas memilih siapa jagoan mereka dalam Pilkada nanti. Akan tetapi perlu disadari bahwa kondisi tersebut berada di tengah era digital dan media sosial yang jauh semakin berkembang dan mendominasi santapan informasi masyarakat, sehingga mau tidak mau harus menjadi Challenge List.
Dinamika politik modern yang diwarnai oleh kemajuan teknologi ini memunculkan fenomena baru dalam kampanye politik, salah satunya adalah buzzer politik yang memanfaatkan media sosial sebagai ruang kerja. Namun, di balik kemajuan teknologi ini, sering kali muncul fitnah politik yang bertujuan menggiring opini masyarakat. Fitnah politik ini digunakan sebagai alat untuk mencemarkan nama baik atau melemahkan karakter salah satu calon atau lawan politik.
Dalam bahasan politik modern, baik di Indonesia maupun di berbagai belahan dunia lainnya, fitnah politik telah menjadi alat yang lazim digunakan untuk meraih atau mempertahankan kekuasaan. Jika kita bandingkan dengan money politics, yang merupakan bentuk korupsi paling merusak dalam sistem demokrasi, fitnah politik memiliki dampak yang jauh lebih destruktif. Money politics tidak hanya merupakan pelanggaran hukum, tetapi juga pengkhianatan terhadap nilai-nilai demokrasi yang menjamin kebebasan memilih berdasarkan keyakinan dan aspirasi pribadi, bukan karena insentif materi.