English English Indonesian Indonesian
oleh

Islam dan Peran Pemuka Agama di Tengah Degradasi Lingkungan 

Oleh: Mohammad Muttaqin Azikin / Pembelajar di Sekolah Pascasarjana Pengelolaan Lingkungan Hidup UNHAS

Membicarakan soal isu lingkungan adalah sesuatu yang mutlak, karena langkah konkret pencegahan masalah lingkungan tidak dapat terlaksana dengan baik tanpa memahami akar persoalan dan tanpa kerja sama semua pihak.

Sementara, problem lingkungan merupakan problem yang amat dekat dengan kita dan amat sangat memengaruhi kehidupan manusia sehari-hari, sehingga membicarakannya adalah sebuah keperluan.  Lalu, bagaimana Islam dan Pemuka agamanya memandang masalah lingkungan, yang penganutnya merupakan mayoritas di negeri ini? 

Apa sesungguhnya yang melatari, sehingga mendiskusikan soal Islam kaitannya dengan problematika lingkungan, menjadi begitu penting belakangan ini? Karena, ada kesan yang saya tangkap, seolah-olah Islam dan pemuka agamanya tidak hadir memberikan solusi atas permasalahan-permasalahan lingkungan yang terjadi saat ini. Padahal, secara teologi penjelasan terkait alam dan lingkungan, sudah sangat gamblang dalam al-Quran maupun hadis. Hanya saja, dalam praktik-praktik yang terjadi selama ini, hampir tak ada respons yang dilakukan secara aktif serta sistematis oleh tokoh-tokoh Islam atas kerusakan dan degradasi yang terjadi. Sikap ini mungkin sejalan dengan pikiran Ziauddin Sardar dahulu – Guru Besar Postcolonial Studies di City University London – yang mengungkapkan bahwa saat dirumuskan solusi atas problem yang dihadapi umat manusia, tak sedikit pun Islam ditampilkan sebagai pandangan dunia (world view) yang integral dan holistik. Sehingga, respons yang muncul pun hanya bersifat sporadis, dan tidak menyasar akar persoalan. Karenanya, maka problem ekologis dan lingkungan ini akan muncul lagi nantinya secara berulang-ulang.

Persinggungan isu lingkungan dengan Islam mengemuka belakangan ini, karena dipicu kebijakan yang dikeluarkan Presiden/Pemerintah tentang Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) kepada Ormas Keagamaan. Hanya saja, berbagai keraguan dirasakan sejumlah elemen masyarakat, sehingga memunculkan pertanyaan, terutama dari kalangan aktivis dan pegiat lingkungan. Pertanyaannya adalah seberapa mampukah ormas agama ini melakukan pekerjaan di sektor pertambangan? Karena pekerjaan tambang ini, bukan pekerjaan yang kecil dan sederhana, namun memerlukan tata kelola yang baik dari hulu ke hilir, butuh investasi dana yang besar pada operasionalisasinya serta secara profesional mesti memiliki SDM yang memadai.

Peran Pemuka Agama

Dalam perkembangannya, Pergulatan soal ekologi-lingkungan tidak bisa lagi dipisahkan dari problem ideologis dan pandangan dunia (world view). Pada konteks ini, ajaran agama-agama dan para pemuka agama memiliki peran yang sangat krusial dan strategis. Sebagai contoh, di dunia Barat, ketika lingkungan dikelola dengan mengeksploitasi alam secara berlebihan melalui pendekatan paradigma antroposentrisme egosentris-ekstrim, yang ditengarai sebagai akar masalah kerusakan lingkungan. Maka, untuk menjawab problem lingkungan tersebut, dimunculkanlah kemudian oleh pegiat lingkungan, suatu pendekatan yang lain berupa paradigma ekosentrisme lewat Deep Ecology (Ekologi Dalam) yang menggeser pemahaman antroposentris sebelumnya. Kemudian selanjutnya lahir pemikiran Social Ecology (Ekologi Sosial), yang berpandangan bahwa permasalahan lingkungan disebabkan oleh faktor-faktor sosial seperti ketidakadilan, kapitalisme, penindasan manusia oleh manusia. Berikutnya muncul pula gagasan Ecofeminism (Ekofeminisme), yang menyebutkan akar masalah lingkungan yang terjadi hari ini karena budaya patriarkal Barat yang mengeksploitasi wanita dan alam. Kesemuanya ini  menunjukkan bahwa ada pertarungan paradigma/ideologi dalam masalah lingkungan di Barat. Lantas, bagaimana agama-agama, terkhusus Islam serta pemuka agamanya merespons problem ekologis dan lingkungan yang sedang terjadi? Martin Palmer dan Gary Gardner adalah dua tokoh pegiat lingkungan dunia, yang telah lama mendesak para environmentalist untuk berpaling kepada peran penting agama serta menjalin kerja sama dengan kaum agamawan, yang memiliki pengaruh besar pada masyarakat, dalam mencari solusi terhadap masalah lingkungan yang dihadapi.

Itu sebabnya, Tu Wei-Ming, seorang filsuf Amerika kelahiran Cina, menulis mengenai perlunya “Melampaui Batas Mentalitas Pencerahan” dalam mencari sumber-sumber rohani dari komunitas global untuk menjawab tantangan krisis ekologis. Professor Studi-Studi Agama di Iona College, Brian Brown mendaku, bahwa pada tradisi Buddhis, sejak awal merefleksikan suatu kerangka konseptual yang berakar dalam intuisi sentral dari perspektif ekologis, di mana tak ada yang berada dalam isolasi otonom, tetapi segala sesuatu ditentukan sebagai sintesis kebersamaan dan derivatif komposit dari unsur-unsur lain. Demikian halnya Mary Evelyn Tucker, Pengajar Agama dan Ekologi di Bucknell University, mengungkap sebuah pengertian mendalam mengenai keterhubungan manusia satu sama lain dan dengan alam, bersifat sentral bagi pemikiran Konfusian. Individu tidak pernah dilihat sebagai entitas terpisah tetapi selalu sebagai pribadi dalam hubungan dengan yang lain dan dengan kosmos. Pandangan dunia ini telah dilukiskan sebagai pandangan dunia antropokosmik, yang mencakup surga, bumi dan manusia sebagai suatu keutuhan interaktif. Begitulah, tidak ada pemisahan radikal antara transendensi dan imanensi sebagaimana terjadi dalam agama-agama Barat. Pengertian “yang duniawi sebagai yang sakral” menentukan di dalam filsafat dan agama Cina. Ini bermakna bahwa keseimbangan dunia-dunia natural dan manusiawi bersifat esensial, baik dalam pemikiran Taois maupun Konfusian.   

Di kalangan pemikir dan cendekiawan Islam, Seyyed Hossein Nasr adalah salah satu tokoh Islam yang sudah cukup lama – sejak tahun 60-an – melontarkan respons atas krisis yang terjadi ini. Bagi Nasr, krisis ekologi-lingkungan dan pelbagai jenis kerusakan Bumi yang telah berlangsung sejak lama, berakar pada krisis spiritual dan eksistensial manusia modern pada umumnya. Dan pandangan Seyyed Hossein Nasr ini, sudah jauh mendahului Arne Naess yang menggagas pandangan Deep Ecology ataupun Murray Bookchin, pencetus Ekologi Sosial.  

Dalam konteks itu, maka mestinya pemuka agama mengambil peran yang lebih progresif. Tokoh-tokoh agama harus mendakwahkan kepada masyarakat mengenai urusan ekologi-lingkungan. Hal ini mesti diulang-ulang, agar bisa dipahami bahwa ketika kerusakan ekologi-lingkungan terjadi, dampaknya akan begitu luas. Tidak hanya terhadap alam, tetapi juga kepada manusia sendiri. Oleh sebab itu, Gagasan dan pemikiran yang pernah dilahirkan para ulama dan tokoh Islam, seperti Anregurutta KH. Ali Yafie lewat bukunya Merintis Fiqih Lingkungan Hidup (2006), Syaikh Abdullah Jawadi Amuli dengan Islam dan Lingkungan Hidup: Tinjauan Qurani Holistik (2007), dan Prof. Quraish Shihab melalui Islam & Lingkungan: Perspektif Al-Quran Menyangkut Pemeliharaan Lingkungan (2023), mesti dipercakapkan dan dipublikasi secara lebih luas, agar pemahaman umat terhadap masalah lingkungan bisa lebih baik, lebih meningkat, serta lebih peduli. 

Seyyed Hossein Nasr pernah menulis, “Krisis lingkungan bisa dikatakan bahwa penyebabnya karena penolakan manusia untuk melihat Tuhan sebagai “Lingkungan” nyata, yang mengelilingi manusia dan memelihara kehidupannya. Kerusakan lingkungan merupakan akibat dari upaya manusia modern dalam memandang lingkungan alam sebagai tatanan realitas yang secara ontologis berdiri sendiri, terpisah dari Lingkungan Ilahiah yang tanpa berkah pembebasan-Nya lingkungan menjadi sekarat dan mati.” Sejalan dengan itu, Karen Amstrong pun mengingatkan dalam buku Sacred Nature: Bagaimana Memulihkan Keakraban dengan Alam, “Al-Quran senantiasa menyeru umat Islam agar mereka selalu menyadari kasih sayang Tuhan di alam. Dunia alami adalah epifani (tajalli) Ilahi yang tidak selalu dapat dipahami oleh cara berpikir biasa. Jadi, umat Islam harus melatih diri untuk melihat hal-hal di balik penampakan alam dan menyadari kekuatan Ilahi di dalamnya.”

Namun disayangkan, dengan kenyataan yang kita saksikan, bahwa di antara pemuka agama Islam, hanya segelintir saja yang peduli, bersuara lantang dan mau memperjuangkan ajaran Islam mengenai lingkungan, serta mengkritik langkah-langkah institusi pemerintahan dan lembaga swasta yang membahayakan kondisi ekologi dan lingkungan hidup kita.  Padahal, Islam sangat menekankan upaya memperbaiki cara pandang dan sikap hidup manusia untuk melestarikan lingkungan. Yang mesti disadari manusia dalam kedudukannya sebagai khalifah, tentu harus mengikuti setiap tindakan Sang Pemilik Kuasa dalam menyikapi berbagai persoalan. Sebagai wakil Tuhan, tanpa keselarasan atas pengetahuan dan kehendak Tuhan, maka secara mendasar, merupakan upaya merampas kuasa Otoritas Yang Mutlak sambil menuruti kuasa yang lain. “Dan sungguh, Kami telah menempatkan kamu di bumi dan di sana Kami sediakan (sumber) penghidupan untukmu. Tetapi sedikit sekali kamu bersyukur.” (QS.Al-A’raf:10). Wallahu a’lam bisshawab.   

News Feed