English English Indonesian Indonesian
oleh

Pascakebenaran, Apa yang Benar?

Oleh: Alwy Rachman / Purnabakti Fak. Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin

Era sekarang sering dibilangkan sebagai era pascakebenaran.

Konsep ini mengandung elemen dialektik, membangkitkan rasa ingin tahu: apakah kebenaran benar-benar sudah hilang?, siapa saja yang menyesatkan kebenaran dan apakah ada kebenaran lain usai pascakebenaran? Sepintas mencemaskan, tetapi oleh kritikus yang setuju, pascakebenaran diterima sebagai fenomena sosial “penutupan pengetahuan” (epistemic closure) terhadap segenap informasi dari penjaga tradisional kebenaran.

Latar munculnya pascakebenaran dirujuk pada dua peristiwa politik: Brexit (British Exit), yaitu proses referendum di Inggris untuk keluar dari Uni Eropa tahun 2016, dan kampanye pemilihan presiden Amerika 2016. Pada tahun yang sama, pascakebenaran” ini semakin populer setelah dikukuhkan sebagai “The word of The Year, 2016” oleh Oxford Dictionaries, dipromosikan sebagai “kata utama” untuk menggambarkan situasi, emosi dan keyakinan pribadi dan kelompok yang lebih memengaruhi pendapat publik ketimbang fakta objektif. 

Dalam dua peristiwa ini,  ditemukan dua hal: misinformasi dan disinformasi. Misinformasi adalah informasi salah dan keliru, tetapi disebarkan tanpa niat jahat. Sebaliknya, disinformasi adalah informasi salah yang disebarkan dengan sengaja untuk menyesatkan opini publik. Di kampanye Brexit, ada pendakuan Inggris membayar 350 juta pound ke Uni Eropa per tahun untuk layanan kesehatan. Pendakuan ini adalah contoh misinformasi, karena tak memperhitungkan keuntungan Inggris dari Uni Eropa. Di kampanye yang sama, pendakuan Turki akan bergabung dengan Uni Eropa adalah contoh disinformasi. Publik Inggris ketakutan akan kedatangan jutaan migran Turki jika Inggris tetap menjadi anggota Uni Eropa. 

Selama kampanye pemilihan presiden Amerika, muncul pendakuan bahwa Donald Trump didukung oleh Paus Fransiskus dari Vatikan. Pendakuan ini adalah contoh  misinformasi, karena faktanya Paus Fransiskus tak pernah memberikan dukungan politik kepada kandidat manapun. Misinformasi ini bertujuan untuk memengaruhi pemilih yang mungkin mempercayai otoritas moral Paus dalam politik. Pendukung Donald Trump juga menyebarkan disinformasi. Isinya: Hillary Clinton terlibat dalam skandal Pizzagate, istilah yang berkonotasi dengan perdagangan anak. Pizzagate adalah contoh disinformasi, dibuat secara konspiratif untuk menyerang Hillary Clinton tanpa dasar fakta. 

Misinformasi-disinformasi di dua konteks di atas menciptakan sensasi dan kontroversi, lalu menjadi viral di media sosial dan media digital. Viral — berasal dari kata virus, agen infeksi yang menyebar — memuat aksi penyebaran informasi menyesatkan. Viralitas seringkali dirayakan seperti selebritas. Meski begitu, Economist — majalah berbasis di London dan dikenal di seluruh dunia — menuliskan testimoni untuk seorang penulis terkenal: “Aturan dasar kehidupan intelektual adalah selebritas menghancurkan kualitas”.  

Namun demikian, viralitas tak selalu membawa konten negatif.  Viralitas ikut memperkuat platform media sosial dan media digital untuk menggalang dukungan publik, mempercepat penyebaran, dan menekan pemegang otoritas untuk bertindak.  Idiom moderen yang mendalilkan  “No viral, no justice” —- muncul pertama kali di kasus kekerasan polisi terhadap warga kulit hitam di Amerika — ikut masuk ke Indonesia. 

Kasus-kasus ini menunjukkan bagaimana misinformasi dan disinformasi telah menjadi taktik yang kuat dalam membentuk opini publik, mendistorsi kebenaran, dan mengaburkan batas antara fakta dan fiksi di era pascakebenaran. 

Fenomena pascakebenaran telah membawa perubahan signifikan dalam cara sebagian masyarakat menangani konsep kebenaran. Dalam konteks ini, kebenaran tidak lagi diterima berdasarkan bukti empiris, melainkan lebih sering dipengaruhi oleh emosi dan keyakinan pribadi dan kelompok. Integritas informasi tak penting jika tak menguntungkan kepentingan pribadi dan kelompok. Ibarat kontainer, pascakebenaran memuat berita palsu, memanipulasi rasa takut, membangkitkan amarah, ataupun sebaliknya, mendatangkan kebanggaan bagi individu dan kelompok yang diuntungkan.

Pascakebenaran bukan tentang mencari kebenaran baru, tetapi dipakai untuk menandai meningkatnya polarisasi di masyarakat sebagai akibat afiliasi politik. Polarisasi politik menyebabkan segenap anggota afiliasi cenderung mempercayai informasi sesuai pandangan politik mereka sendiri. Polarisasi menyebabkan menurunnya kepercayaan terhadap institusi tradisional seperti lembaga media, lembaga pendidikan, lembaga hukum, dan pemerintah yang seringkali dianggap bias, dan “tak bisa dipercaya”. Erosi kepercayaan ini menjadi lebar karena munculnya skandal, korupsi, atau kegagalan memenuhi harapan publik. 

Pada akhirnya, era pascakebenaran menantang kita untuk lebih kritis menyaring informasi dan menjaga integritas dalam memahami realitas yang kompleks. Ini mungkin yang membenarkan sosok ilmuan dan esais empirisme jauh di masa lampau, Francis Bacon, yang berucap; “Kebenaran adalah putri kandung dari sang waktu, bukan anak dari sang otoritas”, kebenaran akan terungkap oleh waktu, bukan karena otoritas yang menyatakannya. (*)

News Feed