English English Indonesian Indonesian
oleh

Kisah Tiga Sahabat dan Kue Benang Kusut

Sementara itu di pasar, Kaila kewalahan melayani pembeli yang penasaran dengan kue tradisional ini. Ia dengan bangga menceritakan filosofi di balik kue benang kusut, seperti yang diajarkan Anah.

Sore harinya, mereka berkumpul kembali di rumah Anah, lelah tapi bahagia. Semua kue terjual habis, baik di acara syukuran maupun di pasar. Bahkan mereka sudah mendapat beberapa pesanan untuk acara-acara mendatang.

“Wow, aku tidak menyangka akan sesukses ini,” ujar Sinta sambil menghitung pendapatan mereka.

Kaila mengangguk setuju. “Iya, dan yang lebih penting, banyak orang jadi tahu tentang kue benang kusut dan maknanya.”

Anah tersenyum lebar. “Ini semua berkat kalian, teman-teman. Oh iya, ada satu hal lagi yang belum kuceritakan.”

Sinta dan Kaila menatap Anah penasaran.

“Tadi Pak Lurah menawarkan kita untuk membuka stan kecil di festival budaya bulan depan. Katanya, kue tradisional seperti ini perlu dilestarikan. Bagaimana menurut kalian?”

Mata Sinta dan Kaila berbinar-binar. “Tentu saja kita mau!” seru mereka bersamaan.

Mereka pun berpelukan, merayakan keberhasilan mereka dan menyambut petualangan baru yang menanti. Apa yang awalnya hanya ide iseng untuk mengisi liburan, kini berpotensi menjadi usaha yang tidak hanya menghasilkan uang, tetapi juga melestarikan warisan budaya.

“Untuk kue benang kusut dan persahabatan kita!” seru Anah mengangkat gelasnya yang berisi teh manis.

“Untuk warisan budaya dan mimpi-mimpi kita!” sambung Sinta dan Kaila.

Malam itu, di bawah langit berbintang, tiga sahabat itu menyadari bahwa kadang-kadang, hal-hal manis dalam hidup datang dalam bentuk yang tak terduga -seperti sebuah kue tradisional yang mengikat mereka dalam petualangan baru. (*)

News Feed