Anah tersenyum, senang melihat antusiasme kedua sahabatnya. “Setiap langkah dalam pembuatan kue ini punya makna filosofis, lo. Misalnya, proses mengaduk yang lama ini mengajarkan kita tentang kesabaran.”
Sambil terus mengaduk adonan, Anah mulai bercerita. Ia menceritakan bagaimana neneknya dulu selalu membuat kue ini setiap ada acara penting di kampung mereka. Kue benang kusut bukan hanya makanan, tetapi juga simbol persatuan dan kekeluargaan dalam masyarakat Bugis.
“Aku jadi teringat cerita nenek,” kata Anah. “Katanya, benang yang kusut dalam kue ini melambangkan ikatan kekeluargaan yang tak terpisahkan dalam masyarakat Bugis. Meskipun kusut dan rumit, tetap menyatu dan manis.”
Sinta tersenyum. “Indah sekali maknanya. Pantas saja kue ini sangat penting dalam tradisi kita.”
Setelah adonan selesai, Anah mengeluarkan sebuah wadah berbentuk tabung yang telah ia persiapkan sebelumnya. Wadah ini memiliki lubang-lubang kecil di bagian alasnya.
“Nah, ini yang akan kita gunakan untuk membentuk ‘benang-benang’ kue,” kata Anah. “Inilah yang membuat kuenya unik, dulu nenek menggunakan cetakan dari batok kelapa ini akan membentuk ‘benang-benang’ yang kusut. Tetapi ini lebih praktis dan hasilnya sama bagusnya.”
Sinta memperhatikan dengan seksama. “Wah, tetap butuh ketelitian ya. Ini pasti mengajarkan kita tentang kerja keras.”
Kaila mengangguk setuju. “Dan lihat, kita bertiga bekerja sama membuat kue ini. Bukankah ini juga mengajarkan tentang kebersamaan?”
Saat Anah sedang mengaduk adonan, tiba-tiba ponselnya berdering. Ia mengangkatnya dengan tangan yang masih belepotan tepung.